Google Webmaster Tools; Agriculture, Biotechnology
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara besar yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Pembangunan nasional Indonesia sudah semestinya mampu memanfaatkan sumberdaya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan di Indonesia harus dapat mewujudkan perekonomian yang terus mengalami pertumbuhan yang tercermin pada peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. Undang-undang Dasar kita mengamanatkan bahwa pembangunan ekonomi ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi haruslah menggunakan sumberdayayang dimiliki dan atau dikuasai oleh rakyat banyak. Dengan demikian pembangunan pertanian yang, yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, selayaknya mendapat prioritas dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Dalam kaitan dengan pembangunan pertanian di Indonesia, sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat Indonesia meliputi sumberdaya manusia (tenaga, pikiran, waktu, nilai-nilai budaya dan moral) dan sumberdaya alam (lahan, hutan, perairan, keanekaragaman hayati, dan iklim tropis). Kedua sumberdaya tersebut merupakan keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia. Bila dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, sudah semestinya itu akan menjadikan pertanian Indonesia memiliki keungggukan kompetitif. Dengan demikian, pembangunan pertanian Indonesia harus didasarkan dan sepenuhnya memanfaatkan dan mendayagunakan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam tersebut (Kwik, 2002). Tak ada satu pun negara yang kini telah menjadi negara industri maju tanpa didahului atau diiringi dengan kemajuan sektor pertaniannya. Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan nasional, serta memiliki tiga peranan penting, yaitu: (1) dalam pembentukan produk domestik bruto, (2) sebagai penghasil devisa, dan (3) dalam pelestarian lingkungan hidup. Sejak berdirinya negara ini, pembangunan pertanian dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional, walaupun terdapat perbedaan implementasi antara pemerintah satu dengan pemerintah lainnya. Beberapa hal mendasari alasan pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan penting, antara lain: potensi sumberdaya alam yang besar dan beragam, besarnya pangsa terhadap pendapatan nasional, besarnya pangsa terhadap ekspor nasional, besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan (Kwik, 2002). Pertanian juga sangat penting sebagai penyerap tenaga kerja penduduk, yang di Indonesia pada 2012 sebesar 35.1% penduduk usia kerja berpencaharian di bidang pertanian, belum termasuk berbagai sektor penunjangnya. Potensi pertanian Indonesia memang besar, namun harus diakui bahwa perjalanan pembangunan pertanian hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika diukur dari tingkat kesejahteraan petani dan kontribusi pertanian pada pendapatan nasional. Beberapa kondisi dan permasalahan menjadi penyebab bahwa pembangunan pertanian di Indonesia belum mencapai sesuai yang diharapkan dalam memperkuat peranannya sebagaimana diuraikan sebelumnya. Di samping beberapa penyebab yang cukup komplek, yang terkait dengan kebijakan pemerintah, kondisi infrastruktor dan kelembagaan, permodalan, ketersediaan lahan, kondisi lingkungan dan lain-lain, kenyataan bahwa sebagian besar pertanian di Indonesia masih bersifat subsisten, dapat dilihat sebagai penyebab utama pembangunan pertanian di Indonesia berjalan lamban. Pertanian subsisten memiliki produktivitas rendah, tidak berorientasi pasar, dan sebagian besar output dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani (hanya sebagian kecil sisanya yang dijual atau diperdagangkan di pasar-pasar lokal). Pertanian subsisten juga tidak tanggap inovasi. Dengan demikian, pertanian subsisten kurang berperan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat, ataupun dalam meningkatkan devisa negara. Oleh sebab itu, pembangunan pertanian harus diprioritaskan untuk mendorong pertanian subsisten kearah agribisnis. Untuk ini diperlukan peran berbagai pihak, yang termasuk di dalamnya: masyarakat petani itu sendiri, kelembagaan swadaya, pemerintah, akademisi dan pendidik (termasuk penyuluh), sektor swasta (bidang agroindustri dan permodalan), dan tidak kalah pentingnya media massa. Peranan media massa inilah yang menjadi fokus bahasan dari makalah ini, khusunya mengubah orietasi para petani, serta pelaku dan penunjang usaha tani lainnya, untuk menjadi lebih berorientasi agibisnis. Pertanian, Subsistensi dan Agribisnis Sebelum masuk ke dalam fokus bahasan, pertama-tama penulis menyampaikan berbagai pengertian dan batasan yang terkait dengan topik. Pertanian dalam arti sempit adalah usaha atau kegiatan bercocok tanam. Sedangkan dalam arti luas pertanian adalah segala kegiatan manusia yang meliputi kegiatan bercocok tanam, perikanan, peternakan dan kehutanan. Terkait dengan ini, dikenal pula istilah petani (farmer) dan usaha tani (farming). Petani adalah penyelenggara usaha tani. Usaha tani (farming) adalah sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budi daya (tumbuhan maupun hewan). Obyek pertanian meliputi budidaya tanaman (termasuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan), kehutanan, peternakan, dan perikanan (Laksana, 2013). Berdasarkan perkembangannya pertanian dapat digolongkan menjadi: (1) pertanian ekstraktif, yaitu pertanian yang dilakukan dengan hanya mengambil atau mengumpulkan hasil alam tanpa upaya reproduksi. Pertanian semacam ini meliputi sektor perikanan dan ekstraksi hasil hutan, hewan dan tanaman liar atau tidak dibudidayakan, dan (2) pertanian generatif yaitu corak pertanian yang memerlukan usaha pembibitan atau pembenihan, pengolahan, pemeliharaan dan tindakan agronomis lainnya, yang berdasarkan meliputi: a) pertanian dengan perladangan berpindah (shifting cultivation) dan b) pertanian menetap (settled agricultured) (Laksana, 2013). Berdasarkan ciri tujuan ekonominya dikenal dua kategori pertanian, yakni pertanian subsisten dan pertanian komersial. Pertanian subsisten ditandai oleh ketiadaan akses terhadap pasar. Produk pertanian yang dihasilkan hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga, dan umumnya tidak dijual. Sebaliknya, pertanian komersial memiliki ciri sebagai perusahaan pertanian (farm) di mana pengelola usahatani telah berorientasi pasar. Dengan demikian seluruh output yang dihasilkan dari pertanian komersial ditujukan untuk dipasarkan dan menghasilkan revenue. Pertanian subsisten merupakan pertanian yang hanya ditujukan untuk swasembada. Petani terfokus pada usaha membudidayakan tanaman atau ternak penghasil bahan pangan dalam jumlah yang cukup untuk mereka sendiri dan keluarga. Ciri khas pertanian subsisten adalah memiliki berbagai variasi tanaman dan ternak untuk dimakan, terkadang juga tanaman serat untuk pakaian dan bahan bangunan. Keputusan mengenai tanaman atau ternak apa yang akan diusahakan bisanya bergantung pada apa yang keluarga tersebut biasa makan atau kebutuhan lain yang perlu diadakan. Meski mengutamakan swasembada sendiri dan keluarga, sebagian besar petani subsisten juga menjual sebagian hasil pertanian mereka demi mendapatkan barang-barang kebutuhan sehari-hari dan yang tidak bisa dihasilkan di lahan sendiri, seperti kebutuhan pokok pangan, sandang, bahan bangunan dan untuk pendidikan dasar anak-anak. Pertanian subsisten merupakan pertanian input rendah, minimal dalam penggunaan teknologi, kurang tanggap inovasi dan sulit didorong untuk menjadi lebih produktif. Pertanian subsisten masih banyak dipraktekkan di Indonesia. Termasuk pada sistem pertanian subsisten ini adalah: (1) pertanian perladangan berpindah, (2) penggembalaan nomaden, dan (3) pertanian subsisten intensif. (Tony Waters, 2007; Id.Wikipedia). Di samping pertanian moderen khususnya di wilayah-wilayah tertentu di Jawa dan perkebunan-perkebunan besar di luar Jawa, di Indonesia terdapat tingkat kemajuan pertanian tradisional yang sangat beragam, mulai dari pertanian ekstraktif sampai pertanian subsisten intensif. Contoh pertanian ekstraktif adalah peramuan sagu untuk mendapatkan bahan pangan berupa tepung, yang banyak dipraktekkan di wilayah timur Indonesia. Di wilayah dengan penduduk yang padat, seperti di Jawa, pertanian subsisten intensif lebih dominan, dimana petani menggunakan lahan sempit yang mereka miliki untuk menghasilkan hasil pertanian yang cukup untuk konsumsi sendiri. Sementara itu sebagian kecil hasilnya dijual untuk memenuhi kebutuhan lain. Petani menggunakan peralatan sederhana untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan mengintensifkan teknik budidaya. Namun, kemampuan produksi petani kelompok ini juga tergolong rendah. Bentuk dari pertanian komersial dan berorientasi pasar adalah agribisnis. Agribisnis adalah bisnis yang berbasis usaha pertanian atau bidang penunjang lainnya, baik di sektor hulu maupun sektor hilir. Pada mulanya, penyebutan hulu dan hilir mengacu pada pandangan pokok bahwa agribisnis bekerja pada rantai sektor pangan. Agribisnis adalah cara pandang ekonomi bagi usaha penyediaan pangan. Pada perkembangannya tentunya cakupan agribisnis bukan hanya budidaya tanaman penghasil pangan saja tetapi juga objek pertanian lainnya, karena pemanfaatan produk pertanian telah berkaitan erat dengan industri farmasi, kimia, dan penyediaan energi. Sebagai subyek akademik, ‘agribisnis’ mempelajari strategi memperoleh keuntungan dengan mengelola aspek budidaya, penyediaan bahan baku, pascapanen, proses pengolahan, hingga tahap pemasaran. Dalam konteks manajemen agribisnis di dalam dunia akademik, setiap elemen dalam produksi dan distribusi pertanian dapat dijelaskan sebagai aktivitas agribisnis (Ng, 2009; Id.Wikipedia). Obyek agribisnis dapat berupa tumbuhan, hewan, ataupun organisme lainnya. Kegiatan budidaya merupakan inti dari agribisnis, meskipun suatu perusahaan agribisnis tidak harus melakukan sendiri kegiatan ini. Berbeda dengan pertanian subsisten, produk agribisnis tidak dimanfaatkan oleh pelakunya (pengusaha tani), sebab bila demikian, kegiatan ini termasuk pertanian subsisten, dan merupakan kegiatan pra agribisnis. Pemanfaatan sendiri dapat berarti juga menjual atau menukar untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Agribisnis juga mencakup bisnis yang memproduksi benih dan bahan kimia pertanian, pakan ternak, alat dan mesin pertanian, pemrosesan bahan pertanian, produksi biofuel, hingga wisata pertanian (agro wisata) yang mulai marak berkembang di Indonesia. Dalam kaitan dengan penyediaan energi, misalnya, bahan bakar hayati (biofuel) yang dihasilkan dari tanaman pertanian saat ini mendapatkan perhatian yang besar karena isu perubahan iklim yang semakin intens dan peningkatan harga bahan bakar fosil ( Id.Wikipedia). Agribisnis memiliki beberapa subsistem. Subsistem agribisnis hulu (upstream, off-farm) meliputi kegiatan ekonomi yang menyediakan sarana produksi bagi pertanian, seperti industri dan perdagangan agrokimia (pupuk, pestisida, dan lain-lain), industri agrootomotif (mesin dan peralatan), dan industri benih/bibit. Subsistem produksi/usahatani (on-farm) meliputi kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan oleh subsistem agribisnis hulu untuk menghasilkan produk pertanian primer, yang didalamnya mencakup usahatani berupa usaha tanaman pangan, usaha tanaman hortikultura, usaha tanaman obat-obatan, usaha perkebunan, usaha perikanan, usaha peternakan, dan kehutanan. Subsistem agribisnis hilir (downstream, off-farm) berupa kegiatan ekonomi yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir, beserta kegiatan perdagangan di pasar domestik maupun internasional, yang didalamnya mencakup industri pengolahan makanan, industri pengolahan minuman, industri pengolahan serat (kayu, kulit, karet, sutera, jerami), industri jasa boga, industri farmasi dan bahan kecantikan, dan lain-lain, beserta kegiatan perdagangannya. Yang terakhir, subsistem lembaga penunjang (off-farm) meliputi seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian dan pengembangan, sarana tataniaga, transportasi, lembaga pendidikan dan penyuluhan, lembaga kerjasama kelompok (farmers union, kelompok tani) dan lembaga pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter, perdagangan internasional, kebijakan tata-ruang, serta kebijakan lainnya). Berbeda dengan pertanian subsisten, agribisnis berpeluang lebih besar berperanan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat, serta devisa negara. Dengan demikian, pembangunan pertanian menuju agribisnis mesti menjadi prioritas. Pembangunan dan Pendidikan Pertanian Pembangunan Pertanian Menuju Agribisnis Visi pembangunan pertanian di Indonesia adalah membangun petani melalui bisnis pertanian yang modern, efisien, dan lestari yang terpadu dengan pembanguna wilayah. Pembangunan pertanian ditujukan untuk selalu meningkatkan produksi pertanian serta meningkatkan pendapatan dan produktivitas usaha petani, dengan jalan menambah modal serta pengetahuan dan ketrampilan, sehingga kendali manusia di dalam perkembangan tanaman, ternak atau organism lain yang diusahakan, dapat ditingkatkan. Pembangunan pertanian merupakan suatu bagian integral daripada pembangunan ekonomi dan masyarakat secara umum (Mosher, 1969; Id.Wikipedia). Hal ini karena pertanian merupakan sektor utama penghasil bahan-bahan makanan dan bahan-bahan industri yang dapat diolah menjadi bahan sandang, pangan, dan papan yang dapat dikonsumsi maupun diperdagangkan. Pembangunan pertanian juga merupakan proses yang menghasilkan perubahan sosial baik nilai, norma, perilaku, lembaga, sosial dan sebagainya demi mencapai pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat. Tujuan pembangunan pertanian di Indonesia (menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Pelita II, 1981) adalah: (1) Meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan gizi masyarakat, (2) Meningkatkan tingkat hidup petani melalui peningkatan penghasilan petani, (3) Memperluas lapangan kerja disektor pertanian dalam rangka perataan pendapatan, (4) Meningkatkan ekspor sekaligus mengurangi impor hasil pertanian, (5) Meningkatkan dukungan yang kuat terhadap pembangunan industri untuk menghasilkan barang jadi atau setengah jadi, (6) Memanfaatkan dan memelihara kelestarian sumber alam, serta memilihara dan memperbaiki lingkungan hidup, dan (7) Meningkatkan pertumbuhan pembangunan pedesaan secara terpadu dan serasi dalam kerangka pembangunan daerah. Tujuan pembangunan pertanian tersebut sesungguhnya masih relevan untuk diterapkan saat ini. Akan tetapi, dengan trend perkembangan perekonomian dunia dan perubahan iklim global yang sedang terjadi saat ini, pembangunan pertanian di Indonesia mesti ditujukan juga untuk menhadapi trend yang sedang terjadi itu. Syarat-syarat bagi terlaksananya pembangunan pertanian meliputi pasaran hasil produksi pertanian, tehnologi baru, tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, perangsang produksi bagi petani, dan pengangkutan. Pembangunan pertanian juga membutuhkan faktor pelancar, yang meliputi: pendidikan pembangunan (pertanian), kredit produksi, kerjasama antar petani, perbaikan dan perluasan tanah pertanian, serta perencanaan nasional pembangunan pertanian (Mosher, 1969; Hadisapoetro, 1975). Harus disadari bahwa pembangunan pertanian kearah agribisnis mencakup penataan dan pengembangan seluruh subsistem agribisnis sebagaimana diuraikan sebelumnya. Di samping itu, pembangunan pertanian menuju agribisnis tidak hanya berurusan dengan pembangunan usaha tani (farming), tetapi juga pembangunan petani (farmer) serta pelaku agribisnis lainnya, dalam bentuk pemberdayaan dan peningkatan kompetensi mereka. Keberhasilan pembangunan pertanian tidak lepas dari kualitas SDM sebagai pelaksana. Petani dan keluarga tani sebagai SDM mempunyai peran ganda dalam pembangunan itu, yaitu selain menjadi obyek, mereka juga merupakan subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, mereka merupakan sasaran pembangunan untuk diberdayakan dan disejahterakan. Sedang sebagai subyek pembangunan, mereka mesti juga berperan sebagai pelaku pembangunan. Pendidikan pertanian sebagai upaya untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan diharapkan mampu mendukung pembangunan pertanian. Dalam pembangunan pertanian menuju agribisnis, dengan demikian, pendidikan pertanian punya peranan yang sangat penting. Pendidikan Pertanian Menuju Agribisnis Pendidikan pertanian merupakan proses yang ditujukan untuk menghasilkan perubahan yang positif terhadap peserta dan sasaran didik, dalam hal pengetahuan, ketrampilan, nilai, norma dan perilaku mereka, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap kelembagaan pertanian dan masyarakat tani. Mengingat ketertinggalan pembangunan pertanian di Indonesia yang makin kita rasakan akhir-akhir ini, maka pertanian kita tidak boleh dibiarkan tetap didominasi oleh pertanian subsisten, yang kurang produktif dan kurang menjamin keberlanjutan (sustenabilitas). Dengan demikian, untuk memberdayakan dan mengubah perilaku para petani maka pendidikan pertanian menuju agribisnis merupakan sebuah urgensi. Sebagaimana sistem pendidikan pada umumnya, pendidikan pertanian dapat ditinjau dan dilaksanakan dengan tiga segi, yaitu: - Sistem pendidikan formal terdiri dari sekolah umum, sekolah kejuruan, sekolah kedinasan dan sekolah khusus, dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. - Sistem pendidikan non formal seperti kursus-kursus, pelatihan, dan penyuluhan. - Sistem pendidikan informal terdiri dari sarana keluarga, media massa, tempat kerja, alat hiburan rekreatif, organisasi dan lain-lain. Tujuan capaian pendidikan pertanian pada prinsipnya juga sama dengan pendidikan pada umumnya, yaitu kompetensi para peserta/sasaran didik dalam tiga segi yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan perilaku sesuai bidangnya. Dengan kata lain, pendidikan pertanian, baik secara formal, non formal atau informal, mesti mampu meningkatkan kompetensi para peserta ataupun sasaran didik dari segi pengetahuan, ketrampilan dan perilaku, walaupun kurikulumnya (jika ada) bisanya belum tertata baik dan dilaksanakan sebagaimana pendidikan formal. Dalam konteks bahasan ini, pendidikan (dan penyuluhan) pertanian seyogyanya mampu mencapai tujuan bahwa petani, keluarga tani, masyarakat tani dan para pelaku usaha tani lainnya, menjadi lebih berorientasi atau berperilaku agribisnis serta lebih kompeten dari segi pengetahuan dan ketrampilan dalam melaksanakan dan menunjang agribisnis. Ada indikasi bahwa generasi muda saat ini kurang tertarik untuk bekerja di sektor pertanian, dan ini juga tergambar dari menurunnya minat tamatan sekolah menengah atas untuk melanjutkan ke fakultas pertanian dalam dasawarsa terakhir. Di Maluku misalnya, animo untuk masuk ke fakultas pertanian saat ini relatif rendah. Sarjana tamatan fakultas pertanian seringkali enggan pulang ke daerah asalnya, semestara di antara mereka yang orang tuanya petani atau memiliki lahan pertanian juga enggan untuk melakukan wirausaha pertanian. Tracer study yang telah kami lakukan (tahun 2011) menunjukan bahwa kurangnya minat anak muda masuk fakultas pertanian atau bekerja di sektor pertanian adalah karena mereka memandang bahwa bekerja pada usaha tani kurang menarik dan ‘rendah’ karena ‘bekerja dengan tanah’, serta tidak dapat diandalkan untuk menghasilkan uang. Dan ini mereka lihat dari pengalaman orang tua atau keluarga mereka yang petani. Regenerasi SDM pelaku pembangunan pertanian selama ini umumnya masih dilakukan secara informal (keluarga) atau turun temurun. Usaha untuk mengaitkan pembangunan pendidikan dengan pembangunan pertanian juga belum dilakukan secara maksimal, sehingga lulusan yang dihasilkan dari pendidikan pertanian formal banyak yang bekerja di luar sektor pertanian. Sehingga terjadi stagnansi dalam regenerasi SDM di sektor pertanian. Stagnansi ini dikhawatirkan dapat menjadi kendala serius pembanguan pertanian menuju agribisnis yang produktif dan berkelanjutan. Oleh sebab itu, peranan pendidikan pertanian yang bersifat non formal dan informal melalui melalui berbagai media massa, seperti televisi, menjadi sangat penting untuk mempromosikan pertanian dalam rangka pembangunan dan revitalisasi pertanian. Peran Televisi dalam Pendidikan dan Promosi Agribisnis Televisi Sebagai Media Pendidikan Pertanian Dengan jangkauan siarannya yang luas, dalam kaitan dengan pendidikan pertanian televisi dapat memiliki peranan penting dalam beberapa segi, yaitu dalam: (1) pendidikan non formal (khususnya penyuluhan) dan informal, (2) penyampaian informasi, (3) komunikasi dan promosi pertanian; yang semuanya ditujukan untuk menjadikan pertanian di Indonesia sebagai agribisnis. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa televisi dapat menjadi media yang efektif dalam “mendidik dan mengajak masyarakat petani membangun pertaniannya ke arah agribisnis”. Harus diakui bahwa mendidik dan mengajak masyarakat tani, khususnya yang masih subsisten, untuk membangun pertaniannya kearah agribisnis tidaklah mudah. Hal ini karena yang harus dibangun dan diperbaiki tidak hanya pengetahuan dan ketrampilan para pelaku pertanian itu tetapi juga nilai (value, mindset) and perilaku (attitude) mereka. Sementara itu, jumlah pelaku pertanian subsisten di Indonesia sangat besar, dan umumnya mereka kurang tanggap perubahan dan inovasi karena praktek pertanian yang mereka lakukan sudah berlangsung dari generasi ke generasi. Dengan demikian, mendidik dan mengajak masyarakat tani di Indonesia membangun pertaniannya kearah agribisnis sesungguhnya merupakan tantangan tersediri. Dan dalam menghadapi tantangan itu, bersama-sama dengan lembaga-lembaga pemdidikan pertanian formal, non formal dan informal lainnya, televisi dapat memainkan perannya. Hal ini selama ini telah dilakukan oleh beberapa stasion televisi, khususnya TVRI. Televisi memiliki berbagai keunggulan dalam pemanfaatan sebagai media penyampaian informasi, komunikasi dan pendidikan pertanian. Pada saat ini sebagian besar keluarga di Indonesia memiliki pesawat televisi yang berfungsi sebagai sarana hiburan dan informasi, dan siaran televisi telah menjangkau sebagian besar wilayah Indonesia sampai ke polosok-pelosok. Berdasarkan hal tersebut, media televisi dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan dan penyuluhan pertanian yang bersifat massal. Dalam kaitan ini berbagai keunggulan televisi meliputi: (1) Siaran televisi dapat ditangkap oleh beberapa indera manusia sekaligus, (2) Siaran televisi dapat menjangkau sasaran penyuluhan secara luas dan singkat, (3) Mata acara televisi dapat disampaikan dengan format hiburan, sehingga peluang pemirsa yang menonton cukup tinggi, (4) Banyak variasi bentuk acara televisi yang dapat dipilih oleh penonton, dan (5) Banyak macam format penyajian pesan untuk menarik perhatian penonton (Kusnadi, 1994). Bentuk-bentuk siaran televisi yang sering terdapat dalam program penayangan televisi di Indonesia antara lain berupa: uraian, reportase, dialog, wawancara, diskusi, laporan dan hiburan. Dalam penyampaian informasi, komunikasi dan pendidikan/ penyuluhan pertanian, perlu dipilih di antara bentuk-bentuk siaran tersebut sehingga tujuannya dapat tercapai secara optimal. Sebagai contoh untuk penyampaian informasi pertanian, siaran dalam bentuk uraian atau laporan lebih tepat digunakan. Agar lebih menarik dan efektif, penyuluhan dan promosi agribisnis dapat dikemas ke dalam bentuk hiburan, atau dalam bentuk dialog tentang keunggulan dan pentingnya agribisnis. Televisi merupakan salah satu media massa dan alat bantu penyuluhan pertanian yang ampuh untuk menambah jumlah sasaran yang dijangkau. Petani sebagai sasaran pendidikan dan penyuluhan pertanian yang jumlahnya banyak dan menyebar di berbagai wilayah tentu akan sulit untuk dijangkau dengan metode penyuluhan langsung karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya operasional yang tidak sedikit. Melalui siaran televisi, misalnya, kegiatan pendidikan penyuluhan pertanian tidak harus selalu dihadiri secara langsung oleh penyuluh dalam kegiatan penyampaian materi penyuluhan. Materi penyuluhan dapat disisipkan pada acara hiburan yang digemari oleh petani dan pelaku pertanian lainnya. Melalui siaran televisi pendidikan, penyuluhan dan promosi pertanian dapat dilakukan secara massal, kontinyu dan menarik, yang dengan demikian diharapkan dapat turut membangun pengetahuan, ketrampilan dan perilaku para pelaku pertanian dalam mengembangkan dan melaksanakan agribisnis. Penggunaan televisi secara terencana dan kontinyu sebagai media pendidikan dan penyuluhan pertanian pada akhirnya akan bermuara pada proses perubahan nilai dan perilaku para sasaran didik (dalam hal ini khususnya petani pemirsa siaran televisi) serta adopsi pengetahuan dan inovasi yang nantinya akan mereka terapkan. Hal ini erat kaitannya dengan metode dan proses komunikasi melalui media siaran televisi yang dapat menampilkan visualisasi pesan yang lebih menarik daripada media komunikasi yang lain. Manfaat dan efektivitas siaran televisi sebagai media mengkomunikasikan informasi pertanian, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pengetahuan dan mengubah secara positif perilaku petani sebagai audience, didukung oleh beberapa hasil penelitian ilmiah (mis. Nazari dan Hasan, 2011; Díaz-Pichardo et al., 2012; Nazri et al., 2012). Mempromosikan Agribisnis Melalui Siaran Pertanian di Televisi Ada beberapa hal yang perlu diperhatihan dalam penyiapan program siaran televisi dalam rangka penyuluhan dan promosi agribisnis, yang meliputi: (1) pelaku (penyuluh, pakar, sumber pengalaman), (2) metode dan bentuk siaran, (3) sasaran siaran, (4) topik dan materi siaran, serta (5) pembuatan dan penanyangan siaran (Kartasapoetra, 1987; Id.Wikipedia). Berikut hanya dibahas tentang pelaku, sasaran, serta topik dan materi siaran. Secara teknis pelaku program siaran televisi dalam rangka penyuluhan dan promosi agribisnis sudah barang tentu adalah stasion televisi. Namun demikian siapa pun atau pihak manapun yang hendak menjadi pelaku dalam mempengaruhi opini publik untuk mewujudkan sesuatu yang baik, seperti misalnya mempengaruhi masyarakat tani untuk membangun pertanian menuju agribisnis yang baik, dapat penggunakan media televisi sebagai media komunikasi yang strategis. Pihak pemerintah, dalam hal ini kementerian pertanian atau kementerian terkait, lembaga-lembaga penelitian, perguruan tinggi, swasta agribisnis, union atau kelompok tani dan stakeholder lainnya, dapat menjadi pelaku pendidikan/penyuluhan dan promosi agribisnis yang menggunakan media televisi. Dengan demikian stasion televisi perlu menggalang kerjasama dengan berbagai pelaku potensial tersebut. TVRI merupakan badan penyiaran publik dan stasion televisi yang terus mengupayakan hal ini dalam partisipasinya membangun pertanian yang tangguh di Indonesia. Sesuai dengan topik makalah ini, sasaran utama program siaran pertanian adalah masyarakat petani (khususnya dari lingkup subsisten) dan para pelaku agribisnis. Di samping itu terdapat sasaran lainnya yang meliputi: para penunjang pada seluruh subsistem agribisnis, pemerintah dan stakeholder pertanian lainnya, para wakil rakyat yang mewakili petani yang menentukan kebijakan di bidang pertanian, serta pihak-pihak lain yang punya interest tehadap pembangunan pertanian. Sementara itu, yang tidak kalah penting dan harus menjadi sasaran strategis program siaran untuk promosi agribisnis adalah generasi muda perdesaan dan daerah-daerah yang mempunyai potensi pertanian yang besar, karena keberadaan dan pola pikir mereka sangat menentukan perkembangan agribisnis di wilayan mereka. Jika mereka bisa diajak menjadi pelaku wirausaha agribisnis dan mereka dibekali dengan kompetensi pengetahuan, ketrampilan dan perilaku agribisnis yang memadai, di masa mendatang mereka dapat berperan sebagai change agents dalam pembangunan pertanian kearah agribisnis. Topik-topik siaran pertanian di televisi mencakup berbagai hal tentang pembangunan dan pendidikan/penyuluhan pertanian, mulai dari kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pertanian, seperti kebijakan kredit pertanian dan perdagangan impor/ekspor produk pertanian, sampai penyuluhan teknis budidaya pertanian, seperti perbanyakan tanaman atau pembuatan pakan ternak. Tergantung dari tujuan yang hendak dicapai dan audience sasaran utama, metode siaran dapat dipilih yang paling efektif, di antara bentuk-bentuk yang ada, seperti uraian, reportase, dialog, wawancara, diskusi, laporan dan hiburan. TVRI tentunya sudah memiliki pengalaman yang panjang tentang hal ini. Pada saat ini dirasakan masih terdapat kesenjangan yang lebar antara hasil-hasil penelitian dan inovasi di perguruan-perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian pertanian dengan praktek-praktek pertanian yang dilakukan oleh petani di sebagian besar wilayah Indonesia. Sehingga, seolah-olah hasil-hasil penelitian dan inovasi itu ‘mubazir’ dan kurang bermanfaat dalam membangun pertanian, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat petani subsisten maupun dalam pembangunan agribisnis secara meluas. Juga terdapat kesenjangan yang lebar antara petani dan usaha tani yang maju dan berorientasi agribisnis, yang banyak di antaranya terdapat di dekat kota-kota besar di Jawa, dengan petani dan praktek pertanian substraktif, subsisten/tradisional dan tertinggal, yang masih banyak ditemui di luar Jawa, seperti di banyak daerah di kawasan timur Indonesia. Dengan demikian, program siaran pertanian di televisi yang ditujukan mengangkat masyarakat petani subsiten dan tertinggal menuju agribisnis diharapkan dapat berperan menjembatani kedua kesenjangan tersebut. Sesuai dengan topik makalah ini serta berdasarkan pengamatan penulis terhadap siaran-siaran pertanian di televisi, maka di sini dapat disampaikan beberapa contoh topik dan materi siaran yang menarik dan bermanfaat untuk pendidikan, penyuluhan dan promosi agribisnis, sebagai tambahan terhadap topik yang selama ini sudah bisa ditayangkan, antara lain:
Penutup Kiranya tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan kepada Dewan Pengawas LPP TVRI, untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut dan dapat menjadi rujukan bagi evaluasi dan perbaikan Program Pertanian TVRI di masa mendatang. Pustaka Díaz-Pichardo, R., C. Cantú-González, P. López-Hernández and G. McElwee. 2012. From Farmers to Entrepreneurs: The Importance of Collaborative Behaviour. Journal of Entrepreneurship, 21 (1):91-116. Hadisapoetro, S. 1975. Pembangunan Pertanian. Yogyakarta: UGM. Kusnadi, T. 1994. Teknik Penyuluhan Pertanian. Universitas Terbuka. Jakarta. Kwik, K.G. 2002. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Nasional: Sektor Pertanian Sebagai “Prime Mover” Pembangunan Ekonomi Nasional. Makalah Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Partai Golkar bidang Pertanian, Kehutanan dan Kelautan di Jakarta, 2 November 2002. Laksana, S. 2013. Model dan Strategi Pengembangan Pertanian Agribisnis. http://disperta.cianjurkab. go.id/index.php, diakses November 2014. Mosher, A.T. 1969. Getting Agriculture Moving: Essentials for Development and Modernization . Frederick A. Praegar Publ. Nazari, M.R., Md.S. Hassan, S. Parhizkar, B. Hassanpour, M. Al-Imran Bin Yasin. 2012. Role of Broadcast Media in the dissemination of agricultural knowledge. Archives Des Sciences 65 (3): 45-55. Nazri, M.R. and Md.S. Hassan. 2011. The role of television in the enhancement of farmers’ agricultural knowledge. African Journal of Agricultural Research. 6(4);931-936. Ng, D dan Siebert, J.W. 2009. Toward Better Defining the Field of Agribusiness Management. International Food and Agribusiness Management Review 12 (4). Waters. T. 2007. The Persistence of Subsistence Agriculture: life beneath the level of the marketplace. Lanham, MD: Lexington Books. Wikipedia dalam Bahasa Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/, diakses November 2014. Tulisan ini Merupakan Makalah dengan Pemikiran Disampaikan kepada Dewan Pengawas TVRI Pada Workshop tentang Siaran Pertanian, Mataram, 18 November 2014. Tulisan terdapat di link, klik di sini
0 Comments
Leave a Reply. |