Google Webmaster Tools; Agriculture, Biotechnology
Ilmu Pengetahuan dan Wawasan Ilmiah dalam Masyarakat Pertanian
‘Scientia potentia est’ (‘knowledge is power’ atau ‘pengetahuan adalah kekuasaan’). Itu motto yang sudah lama dilontarkan (bukan yang pertama) oleh Francis Bacon (1561-1626), yang menekankan betapa pentingnya peranan ilmu pengetahuan bagi manusia, baik secara individu maupun sebagai masyarakat. Tanpa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi memang sulit bagi manusia moderen untuk bisa hidup makmur dan memiliki kekuasaan atau kekayaaan. Dalam realitas sosial, sebenarnya pernyataannya tidak mesti sevulgar itu, seolah manusia hanya berorientasi kepada kekuasaan dan kekayaan. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan juga sangat diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. Terdapat banyak bukti bahwa ada korelasi positif antara kesejahteraan masyarakat suatu negara dengan rata-rata tingkat pengetahuan dan pendidikan rakyatnya. Negara-negara yang masyarakatnya berwawasan ilmiah umumnya memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. Ini bisa dilihat pada data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), di negara-negara dengan indeks tingkat pendidikan penduduknya yang tinggi juga memiliki nilai indeks harapan hidup, indeks GDP per kapita dan indeks pembangunan manusia yang tinggi pula (UN Data, A World of Information). Oleh sebab itu, meningkatkan tingkat pendidikan, membangun masyarakat berbasis ilmu dan pengetahuan, yang pada gilirannya akan mengembangkan wawasan ilmiah di kalangan masyarakat, merupakan suatu keharusan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat itu.Namun dalam masyarakat kita kenyataannya masih ditemukan pengertian yang berbeda-beda tentang ilmu pengetahuan. Juga masih ada kesenjangan antara pengetahuan tradisional dengan pengetahuan moderen, antara keyakinan keagamaan dengan kemajuan iptek, sehingga seringkali terjadi kebuntuan dialog antara kedua sisi itu dan akibatnya sinergi sangat sulit dihasilkan untuk membangun masyarakat yang sejahjtera. Bagi kebanyakan masyarakat tradisional, termasuk banyak di antara masyarakat pertanian di Maluku, ‘pengetahuan’ sering lebih diartikan sebagai pengetahuan batin daripada pengetahuan ilmiah, baik dalam bidang sosial maupun alamiah. Pada masyarakat yang demikian ‘talenta’ atau bakat alam biasanya lebih dihargai daripada perolehan pengetahuan dari proses belajar dan kerja keras. Pengetahuan yang berupa ‘anugerah’ yang diperoleh dari proses kegiatan spiritual atau keagamaan dianggap lebih ‘berwibawa’ daripada perolehan ijazah dari lembaga pendidikan, bahkan sering lebih diandalkan daripada kompetensi nyata yang merupakan hasil dari proses pendidikan. Misalnya, ‘orang pintar’ atau dukun, ‘tukang berobat’ dan tabib tanpa pendidikan kesehatan lebih dipercaya mampu menyembuhkan daripada dokter; ‘doa-doa’ lebih diandalkan daripada diagnosis dan obat-obat dari dokter dan apotek. Penggunaan pupuk dan pestisida sulit disarankan, dan petani cenderung terus mempraktekkan cara-cara pertanian sederhana yang diwariskan dari leluhur yang sudah biasa diterapkan walaupun produktivitasnya tidak optimal. Terdapat dua kelompok besar ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada pemikiran rasional, yaitu ilmu‑ilmu alam dan ilmu‑ilmu sosial. Kedua bidang pengetahuan tersebut telah mengalami kemajuan besar di dunia Barat atau negara‑negara maju lainnya. Ilmu‑ilmu alam telah terbukti berhasil dalam pengembangan teknologi tinggi dalam berbagai bidang, termasuk nano-teknologi, teknologi komputer, informatika dan komunikasi yang berkembang pesat akhir-akhir ini, serta di bidang pertanian sistem agroindustri dan bioteknologi yang sudah lazim diterapkan pada pertanian di negara-negara maju. Ilmu-ilmu sosial telah melahirkan berbagai paradigma, teori, metode maupun hasil‑hasil penelitian, untuk memahami masyarakat dan mengatasi berbagai persoalan budaya, sosial dan peri kehidupan lainnya; juga telah memungkinkan rekayasa sosial pada masyarakat pertanian sehingga mendorong pertanian yang maju. Kedua bidang ilmu itu selanjutnya telah melahirkan produk-produk peradaban moderen, seperti pesawat terbang, komputer, HP, sampai ke prosedur kedokteran yang canggih, sistem pendidikan, perbankan modern, sistem politik dan ketatanegaraan dan lain-lain. Dalam bidang pertanian, juga telah dihasilkan anekaragam pupuk dan agen kimiawi untuk pertanian, anekaragam varietas unggul, inovasi alat dan mesin pertanian, industri pengolahan hasil pertanian, kelembagaan pendidikan dan transfer teknologi, serta telah tercipta sistem finansial pertanian (seperti credit union), serta perdagangan sarana dan produk pertanian yang canggih. Ini telah tebukti mampu meningkatkan produksi pertanian serta agroindustri yang efisiensi dari hulu ke hilir, baik on-farm maupun off-farm. Akibatnya pertanian di negara-negara dengan pertanian yang maju dan berbasis ilmu, pertanian telah menjadi industri (agroindustri) yang bisa mensejahterakan para pelakunya. Sayangnya, masih banyak diantara masyarakat kita, termasuk masyarakat pertanian tradisional, terbelenggu oleh budaya gaib (mistis) dan bersifat mitos (mitis), yang tidak jelas dasar ilmiahnya. Disana kita kenal istilah-istilah seperti ‘adat’ (dalam pengertian mistis dan mitis), ‘keramat’, ‘paranormal’, ‘dukun’, ‘jimat’, ‘pamali’, ‘mentera’, ‘pekata’, ‘jampi-jampi’, ‘siluman’, ‘ilmu hitam’, ‘santet’, ‘guna-guna’, ‘suanggi’ dan lain-lain. Beberapa saluran TV kita setiap hari menayangkan cerita-cerita yang mengandung unsur-unsur seperti itu. Sebagian hal-hal mistis dan mitis telah diramu oleh ‘para ilmuwan’ menjadi ‘ilmu pengetahuan semu’ atau pseudo-science. Ada pula takhayul yang diselubungi dengan kata-kata untuk memperindah citra menjadi ‘kearifan lokal’ atau local wisdom. Tentu saja diantara tradisi itu banyak yang bersifat positif dan benar-benar dapat digolongkan sebagai ‘kearifan lokal’, misalnya ‘sasi’ di Maluku, yang berguna bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan pertanian dan perikanan. Namun, menjadikan pertanian di Maluku lebih berbasis ilmu dan masyarakatnya berwawasan ilmiah, mesti menjadi visi dan misi pembangunan pertanian yang terus diupayakan untuk diwujudkan. Masyarakat Pertanian dalam Konteks Perkembangan Kebudayaan Untuk memahami bagaimana mengembangkan pertanian yang berbasis ilmu pengetahuan dan masyarakat pertanian yang berwawasan ilmiah, saya hendak mengemukakan dimana posisi masyarakat pertanian kita dalam konteks perkembangan kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sejalan dengan perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Menurut filsuf kebudayaan C.A. van Peursen, sejarah kebudayaan umat manusia ini dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tahap mitis, ontologis, dan fungsional (van Peursen, 1988). Pada tahap mitis sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewi dan roh-roh alam raya, kekuasaan kesuburan, atau kekuatan malapetaka, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi pada bangsa-bangsa purba. Akan tetapi berbagai bentuk mitologi dan mistis inipun dalam dunia moderen masih dapat dilihat. Misalnya seorang pemimpin yang ingin memiliki ‘pengaruh’ atau ‘wibawa’ pergi berziarah atau bersemedi di tempat-tempat keramat, atau berkonsultasi dengan paranormal, ketimbang memperdalam ilmu manajemen dan kepeminpinan. Sebagian masyarakat kita di Maluku maupun Indonesia pada umumnya juga masih berada dalam tahap mitis ini, meskipun mereka sudah hidup dalam dunia moderen. Tahap mitis ini masih menguasai perilaku dan kesadaran masyarakat dengan budaya agraris, marine, bahkan pada masyarakat perkotaan. Pada tahap ontologis manusia tidak lagi merasa hidup dalam kepungan kekuasaan kekuatan gaib dan mitos, melainkan secara bebas meneliti segala hal yang menjadi perhatiannya. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dahulu dirasakan sebagai kepungan atau pengaruh yang tidak bisa dinalar. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (cabang-cabang ilmu). Masyarakat yang demikian mulai memasuki zaman moderen. Pada tahap fungsional manusia berusaha untuk mengkonstruksi kembali hubungannya dengan dunia (realitas) yang sudah dipahaminya, mendekonstruksi lagi segala bentuk landasan kehidupan atau kemapanan, baik yang bersembunyi di balik tradisi, modernitas, pandangan keagamaan, filsafat, dan sebagainya. Manusia berusaha mengupas kembali kemapanannya. Tahap-tahap seperti ini tentu pun berlaku dalam masyarakat pertanian. Banyak masyarakat Indonesia, termasuk di Maluku, masih berada pada tahap mitis, dan ada diantaranya sedang melangkah ke tahap ontologis. Namun kenyataannya kebanyakan masyarakat itu sedang berada di persimpangan jalan antara perkembangan budaya mereka. Dengan tradisinya yang masih kuat dengan berbagai kepercayaan pada kekuatan magis dan mistis, mereka khususnya generasi mudanya, tergiring masuk langsung ke dalam dunia moderen materialistis yang mencoba menariknya untuk berpikir dan berperilaku rasional dan terlibat dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sesungguhnya juga merupakan produk tahap budaya fungsional. Media komunikasi, seperti TV, HP smartphone dan internet, menarik mereka lebih cepat dan lebih jauh ke dalam pusaran jaman yang sedang terjadi dalam kehidupan. Sering ini mengakibatkan ‘kebingungan budaya’ dalam masyarakat yang bisa berekses negatif. Ketidakpuasan dan kritik terhadap modernitas bisa memunculkan gagasan-gagasan yang mendorong masyarakat kembali ke tahap mitis serta tradisi seperti sebelumnya. Di sisi lain, banyak di antara masyarakat pertanian yang masih berada pada tahap mitis, atau baru beranjak ke ontologis, harus berhadapan dengan budaya moderen dengan produk-produk dari budaya ontologis atau fungsional; sehingga harus terjadi dialog baik dengan tradisi, modernitas maupun pasca-modernitas. Masyarakat pertanian kini harus mampu berdialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dapat belajar dan dididik oleh budaya itu; dengan demikian, kesadaran masyarakat tidak boleh tertinggal atau terjebak pada kondisi yang ada. Percaya pada mimpi dan imaginasi, juga dalam hal alam mitis dan mistis, memang sering berguna untuk menyemangati hidup kita; tetapi ilmu pengetahuan (sains, knowledge) dan tindakan yang sejalan dengan itu (kwoledge-based conduct) mutlak diperlukan untuk merealisasikan impian dan imaginasi kita dan membangun masyarakat yang sejahtera. Petani perlu memahami ilmu pengetahuan dan memanfaatkannya dalam berusahatani, bahkan harus membangun wawasan ilmiah dalam pertanian. Upaya memahami ilmu pengetahuan yang saya maksudkan di sini bukan hanya melalui pendidikan formal di sekolah menengah atas, pendidikan vokasional atau perguruan tinggi, tetapi juga melalui pendidikan non-formal melibatkan penyuluh pertanian, serta pendidikan informal melalui pembelajaran secara turun menurun dari leluhur atau pemangku budaya, sebagaimana dinyatakan oleh Winarno (2013), bahkan belajar dari pengalaman melakukan usaha pertanian serta belajar dari mengenali dan memikirkan alam lingkungan pertanian. Pendeknya, petani harus bersikap sebagai pembelajar seumur hidup. Dengan demikian, praktek-praktek pertanian tradisional yang cenderung bersifat subsisten akan berkembang menjadi usaha pertanian yang berbasis pengetahuan (yakni agribisnis) yang lebih produktif, lebih mampu menyejahterakan para pelaku dan masyarakatnya, serta lebih tanggap terhadap trend ekonomi dan perubahan iklim global. Belajar dari 3 tahap sejarah perkembangan kebudayaan manusia sebagaimana diuraikan sebelumnya, beberapa pemikir menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya perlu dipandang sebagai ‘sekolah umat manusia’. Pendidikan terus-menerus, pendidikan yang tidak ada tamatnya, sepanjang sejarah hubungan manusia dengan berbagai kekuasaan dan kekuatan alam, yang mendorong manusia untuk selalu menemukan strategi baru dalam sejarah hidupnya. Sehingga terjadi proses umpan-balik yang positif dalam setiap langkah perjalanannya dalam proses perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu. Dengan mengadaptasi pola pemikiran Charles Darwin tentang strategi bertahan hidup, dapat dikatakan bahwa budaya dari suatu masyarakat juga merupakan strategi untuk bertahan hidup dan menang. Ini bisa dicapai dengan adanya kemampuan untuk berubah, bervariasi dan beradaptasi, karena seleksi alam selalu terjadi. Dengan demikian, inti dari budaya bukanlah budaya itu sendiri, melainkan strateginya, yaitu suatu strategi untuk bertahan hidup (survival) dan berkembang (van Peursen, 1988). Dan ini tentu berlaku untuk membangun wawasan ilmiah dalam suatu masyarakat. Menerapkan ilmu pengetahuan dalam pertanian di Maluku dan mengembangkan budaya ilmiah dalam masyarakatnya, tidak hanya akan menjamin hidup dan berkembangnya pertanian itu tetapi juga akan membuat pertanian mampu menyejahterakan masyarakatnya, yang selanjutnya akan menopang berkembangnya peradaban dimana masyarakat itu berada. Di samping itu, masyarakat pertanian yang berwawasan ilmiah akan ditunjukkan oleh kemampuannya untuk bertahan, bahkan menang, dalam persaingan dan dalam mengatasi setiap perubahan. Masyarakat pertanian yang berwawasan ilmiah, yang pemikirannya dan tindakannya berbasis ilmu pengetahuan, selalu memiliki siasat dalam menghadapi setiap perubahan di masa depan. Untuk mengembangkan pertanian sebagai bagian dari peradaban, petani mau atau tidak mau harus memahami lalu menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang dapat menunjang pertanian, dan memanfaatkannya. Utamanya, wawasan ilmiah harus tumbuh dan ditumbuhkan pada masyarakat pertanian. Hanya dengan menguasai ilmu pengetahuan, masyarakat pertanian dan kita semua akan dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, dan pada saat yang sama berkembang kesadaran untuk melestarikan lingkungan, yang harus tersedia dalam keadaan yang baik bagi generasi yang akan datang. Pada gilirannya kesejahteraan masyarakat (well-being) dan kelestarian (sustainability) akan berumpan-balik kepada berkembangnya budaya dan peradaban dari generasi ke generasi. Membangun Masyarakat Pertanian Menghadapi Era Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Perubahan Iklim Global Menjadikan pertanian berbasis ilmu dan masyarakatnya berwawasan ilmiah sesungguhnya penting untuk mempersiapkan pertanian dan para pelakunya agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan pertanian di abad 21 ini, yang berlangsung sangat cepat. Pertanian di dunia dalam era ekonomi hijau sekarang ini memiliki ciri-ciri: produktivitas yang tinggi; membutuhkan input berupa air dan pupuk yang lebih rendah; tanaman pertaniannya dikembangkan agar mampu mengatasi kondisi agroekologi yang suboptimal, seperti kekeringan, genangan, suhu terlalu tinggi atau rendah, dan cekaman lainnya; dampak negatif kegiatan pertanian, seperti cemaran pupuk, pestisida dan limbah pertanian, harus seminimal mungkin; hasil pertanian harus menunjang kesehatan manusia dalam hal ketersediaan gizi dan vitamin; dan pertanian mampu menunjang penyediaan energi dari biomasa (bioenergy), bahan-bahan industri dan pengobatan/kesehatan (Hamilton et al., 2005). Adanya 3 peristiwa besar terkait pertanian yang sedang terjadi di dunia, yakni pertumbuhan populasi masih cepat, perubahan iklim global dan hampir habisnya persediaan minyak dunia, juga mendorong lahirnya ide-ide penting terkait pertanian dunia, seperti high-output, low-input agriculture (pertanian dengan masukan rendah dan luaran tinggi), pertanian yang menunjang ekonomi berbasis hayati (bio-based economy) dan pertanian yang menunjang produksi energi dari biomasa (getting carbon from the air, not from the ground) (Whitacre et al, 2010). Jadi pertanian harus siap tidak hanya menunjang terpenuhinya kebutuhan pangan dan pakan, tetapi juga kebutuhan industri dan energi, serta mampu menghadapi perubahan iklim global. Petani tradisional yang tidak berwawasan ilmu pengetahuan sulit menyesuaikan diri dengan tuntutan dan trend kemajuan pertanian sebagaimana diuraikan sebelumnya. Jadi, untuk bisa turut berperan dalam perkembangan seperti itu, bagaimanapun masyarakat pertanian kita harus lebih terdidik dan berwawasan ilmiah, dan usaha pertaniannya berbasis ilmu pengetahuan. Dengan demikian, pembangunan pertanian harus dititkberatkan lebih pada penguatan dan pencerdasan sumberdaya manusia (human capital) daripada berorientasi pada ekploitasi dan pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam pembangunan pertanian di Maluku, pemangku kepentingan dan masyarakat pertanian mesti berangkat dari kondisi pertanian, alam lingkungannya serta sosial budaya masyarakatnya. Dengan pertimbangan bahwa Maluku merupakan wilayah kepulauan, maka logikanya pertanian di Maluku perlu dikembangkan sebagai pertanian kepulauan, dengan dominansi pertanian pulau-pulau kecil, bukan pertanian kontinental; walaupun konsep tentang pertanian kepulauan itu sendiri belum terumuskan secara lengkap. Pertanian kepulauan Maluku yang dalam evolusinya berkembang sebagai pertanian campuran (polikultur), khususnya dalam bentuk ‘dusung’ atau sistem agroforestry dan bentuk-bentuk pertanian tradisional lainnya, telah terbukti mampu menunjang pemenuhi kebutuhan pangan, sandang, bangunan dan energi bagi masyarakat tani selama berabad-abad. Telah terbukti dalam sejarah, bahwa ‘dusung’ dan hutan yang ada di Kepulauan Maluku mampu melestarikan lahan darat pulau-pulau yang ada di sana, dan juga turut melestarikan pesisir dan laut, jika ditinjau dari aspek biologi, ekologi, ekonomi dan estetika. Sistem itu juga telah turut mempertahankan kelestarian lahan dan lingkungan sosial budaya masyarakat. Walaupun demikian, pertanian tradisional itu pada umumnya masih bersifat subsisten, sehingga belum mampu secara optimal menyajahterakan para pelakunya, atau berkontribusi besar kepada pendapatan daerah. Pertanian subsisten malah dapat dilihat sebagai salah satu penyebab utama lambannya pembangunan pertanian. Pertanian subsisten memiliki produktivitas rendah, tidak berorientasi pasar, dan sebagian besar output dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani (hanya sebagian kecil sisanya yang dijual atau diperdagangkan di pasar-pasar lokal). Ciri lain dari pertanian subsisten adalah tidak tanggap inovasi. Berbeda dengan pertanian subsisten, pertanian yang lebih maju berupa agribisnis berpeluang lebih besar berperanan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat, serta devisa negara. Dengan demikian, pembangunan pertanian menuju agribisnis menjadi prioritas. Ini sesuai dengan visi pembangunan pertanian di Indonesia, yaitu membangun petani melalui bisnis pertanian yang modern, efisien, dan lestari yang terpadu dengan pembangunan wilayah. Pembangunan pertanian menuju agribisnis yang lebih siap menghadapi perkembangan ekonomi dan perubahan iklim global tidak hanya berurusan dengan pembangunan usaha tani (farming), tetapi juga pembangunan petani (dalam pengertian peasants dan farmers), pengusaha pertanian serta pelaku agribisnis lainnya, dalam bentuk pemberdayaan dan peningkatan kompetensi mereka melalui pembangunan sumberdaya manusia. Hal ini karena keberhasilan pembangunan pertanian tidak lepas dari kualitas sumberdaya manusia sebagai pelaksananya. Di sini petani dan keluarganya mempunyai peran ganda dalam pembangunan itu, yaitu selain menjadi obyek, mereka juga merupakan subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, mereka merupakan sasaran pembangunan untuk diberdayakan agar menjadi lebih mampu menyejahterakan keluarga dan masyarakatnya. Sedang sebagai subyek pembangunan, mereka mesti juga berperan sebagai pelaku pembangunan. Pembangunan pertanian merupakan suatu bagian integral pembangunan ekonomi dan masyarakat secara umum. Telah lama dikemukakan bahwa salah satu kunci utama dalam pembangunan pertanian (dinamakan ‘accelerators of agricultural development’) adalah pendidikan petani (Mosher, 1966). Pendidikan petani sebagai upaya untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan diharapkan mampu mendukung pembangunan pertanian. Kedua peran petani dalam pembangunan pertanian itu pada akhirnya mesti menjadikan pertanian berbasis ilmu pengetahuan sehingga lebih mampu menyejahterakan keluarga dan masyarakatnya, serta para pelakunya (para petani) berwawasan ilmiah sehingga lebih tanggap terhadap trend perekembangan pertanian. Para petani itu tidak hanya berpengetahuan dan terampil bekerja dalam bidangnya, tetapi juga menjadi pembelajar yang cerdas sepanjang hayat. Menutup tulisan ini saya mau mengemukakan bahwa pembangunan pertanian tidak hanya mengarahkan kepada peningkatan produktivitas, tetapi juga harus meningkatkan taraf hidup masyarakat pertanian. Untuk itu, petani, pengusaha tani dan masyarakat pertanian di Maluku, dan di Indonesia secara umum, harus lebih cerdas, dalam pengertian berwawasan ilmiah, sehingga lebih mampu menghadapi trend ekonomi, perubahan iklim global, dan bahkan perubahan dalam masyarakat pertanian itu sendiri. Petani, pengusaha pertanian, dan masyarakat pertanian secara umum harus mampu mempraktekkan pertanian yang berkelanjutan. Pada era dimana kita berada pada kondisi sumberdaya yang semakin terbatas dan adanya dampak perubahan iklim global, maka mereka harus mampu mempraktekkan pertanian yang berkelanjutan, dengan berbudaya tanaman menggunakan lahan, air, pupuk dan input pertanian lainnya yang lebih sedikit, serta melestarikan sumberdaya alam untuk generasi yang akan datang. Pertanian masa depan tidak hanya berfungsi yang berkaitan dengan produksi pangan, sandang, bahan bangunan, bahan industri, obat-obatan dan energi, tetapi menyangkut aspek yang lebih luas lagi, seperti produksi udara bersih dan oksigen, serapan CO2 (perdagangan karbon), estetika lansekap, air bersih dan agrowisata. Petani dan pengusaha tani harus lebih jeli melihat kesempatan-kesempatan yang ada untuk memproduksi barang dan jasa. Mereka harus mampu melihat pertaniannya sebagai sesuatu yang multi-fungsi. Dalam pertanian harus berkembang pengetahuan baru yang akan memampukan pelakunya menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi dan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Ini jelas menuntut pertanian dikembangkan agar berbasis ilmu dan para pelakunya berwawasan ilmiah. Daftar Pustaka Hamilton, R., R.B. Flavell and Robert B. Goldberg. 2005. Plant biotechnology: Advances in food, energy, and health. Economic Perspective, p17-20. Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving: Essentials for Development and Modernization . Agricultural Development Council, Frederick A. Praegar Publ. 191 p. UN Data, A World of Information. http://data.un.org/DocumentData.aspx?q=human+ development+index&id=377, diakses 5 Mei 2017. van Peursen, C.A., 1988. Strategi Kebudayaan (terj. D. Hartoko dari Cultuur In Stroomversnelling & Strategie Van De Cultuur). Kanusius. 238 p. Whitacre, P.T., A.P. Fagen, J.L. Husbands, and F.E. Sharples. 2010. Planning Implementing the New Biology: Decadal Challenges Linking Food, Energy, and the Environment: Summary of a Workshop, June 3-4, 2010, The National Academies Press, Washington. 52p. Wikipedia, Scientia_potentia_est. https://en.wikipedia.org/wiki/Scientia_potentia_est, diakses 5 Mei 2017. Winarno, Y.T. 2013 ‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’?. Antropologi Indonesia, Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology 34(1):75-90.
0 Comments
Agroforestry Agroforestry adalah praktik penggunaan lahan yang sudah dilakukan sejak lama (kuno) di berbagai wilayah di dunia, dan merupakan perpaduan antara pertanian dan kehutanan. Sebagaimana hutan tropis, agroforestry di wilayah tropis selain penting dalam produksi pangan juga memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim dan merupakan tempat hidup keanekaragaman flora dan fauna. Agroforestry juga dapat berfungsi dalam melestarikan keanekaragaman tumbuhan serta sebagai sumber kayu dan produk non-kayu, seperti buah-buahan, damar, gaharu, madu, nira, dan berbagai bahan anyaman dan kerajinan lainnya, yang penting secara komersial. Oleh karena itu, agroforestry juga dapat dikatakan sebagai sistem pengelolaan penggunaan lahan yang efisien dan terintegrasi dengan pembudidayaan tanaman-tanaman pertanian tertentu, spesies-spesies pohon hutan atau pemeliharaan hewan ternak secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dengan praktik pengelolaan yang tepat, yang menghasilkan peningkatan keseluruhan paduan produksi melalui seperangkat kondisi iklim dan tanah dan status sosial ekonomi masyarakat setempat. Ini melibatkan interaksi antara pohon-pohon penghasil kayu jangka panjang secara ekologis dan ekonomi dengan tanaman atau ternak, yang memberikan pendapakan secara rutin dalam jangka pendek. Hal ini karena tanaman pertanian, tanaman keras/kayu (pohon/tanaman hutan) dan hewan merupakan komponen utama suatu agroforestry (Toppo dan Raj, 2018). Dengan kata lain, agroforestry merupakan sistem penggunaan lahan yang berkelanjutan secara ekologis, yang mempertahankan peningkatan hasil total dengan menggabungkan tanaman pangan (semusim dan tahunan) dengan tanaman pohon (tanaman keras, tahunan) atau ternak pada suatu satuan lahan. Satu hamparan lahan agroforestry dapat meliputi batas, gundukan, daerah terlantar dimana sistem ini dapat dilaksanakan. Pelaku agroforestry di daerah tropis biasanya mempertahankan berbagai jenis pohon, misalnya kelapa (Cocos nucifera), cengkih (Syzygium aromaticum), nangka (Artocarpus heterophyllus), sukun (Artocarpus altilis), mangga (Mangifera indica), durian (Durio zibethinus), langsat dan duku (Lansium domestikum), akasia (Acasia spp), sengon (Albizia chinensis), Gliricidia sepium, Zizyphus mauritiana, Gmelina arborea dan lain-lain di lahannya. Sistem agroforestry memainkan peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim terutama karena komponen pohonnya. Agroforestry juga dapat membantu meningkatkan produksi makanan (untuk manusia dan juga hewan), serta menyediakan sumber nutrisi atau pendapatan alternatif ketika hasil panen rendah (Toppo dan Raj, 2018). Perubahan Iklim Perubahan iklim merupakan masalah global yang telah disadari sebagai masalah yang sangat penting di dunia. Peningkatan CO2 oleh industrialisasi, pembakaran bahan bakar fosil dan lain-lain telah menyebabkan perubahan yang gradual pada iklim global. Gas-gas rumah kaca yang meliputi CO2, N2O, CH4, CFC dan lain-lain merupakan faktor penting di balik pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Karbon dioksida (CO2) adalah gas penangkap panas utama yang paling bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya sebagian besar pemanasan rata-rata selama beberapa dekade terakhir. Konsentrasi CO2 di atmosfer telah meningkat dari sekitar 280 ppm (part per million) pada era pra-industri (1000-1750 AD) menjadi sekitar 383 ppm (berdasarkan pengukuran di Mauna Loa, Hawaii, pada 2007 (Forster et al.; 2007, Keeling et al.; 2008). Sejak era industri mulai tahun1751 sampai 2010 telah terjadi kenaikan konsentraso CO2 di atmosfer, yang dibarengi oleh kenaikan gradual suhu udara. Keanekaragaman hayati bumi sangat dipengaruhi oleh iklim yang tidak biasa yang menyebabkan hilang keanekaragaman itu dan degradasi sumber daya alam serta lingkungan. Perubahan rezim cuaca seperti pola curah hujan yang melenceng dari normal menyebabkan banjir dan kekeringan, yang pada gilirannya tidak hanya berdampak pada produksi pertanian, tetapi juga munculnya berbagai serangan hama dan penyakit di luar perkiraan. Pohon-pohon dan tanaman-tanaman lainnya mengakumulasi CO2 (yang merupakan gas rumah kaca paling dominan di atmosfer bumi) dalam biomassa yang dihasilkannya. Agroforestry tidak hanya membantu dalam mitigasi perubahan iklim tetapi juga dalam adaptasi perubahan iklim. Meskipun sudah banyak upaya yang dilakukan saat ini dalam mitigasi perubahan iklim (pengurangan gas rumah kaca - GRK), ada kebutuhan yang lebih mendesak untuk mengatasi dampak perubahan iklim dengan cara adaptasi. Masyarakat perlu mendapat cukup informasi tentang ruang lingkup dan manfaat dari agroforestry dan para petani perlu berpartisipasi dalam implementasi dan pengembangan agroforestry di wilayah mereka. Telah diketahui bahwa sistem agroforestry merupakan praktik yang baik secara ekonomi dan ekologis, dengan meningkatkan produktivitas pertanian secara keseluruhan, memperkaya/memperbaiki tanah melalui jatuhan serasah yang merupakan bahan organik, mempertahankan layanan lingkungan, seperti mitigasi perubahan iklim (penyerapan karbon), fitoremediasi, perlindungan daerah aliran sungai, dan konservasi keanekaragaman hayati. Dalam kaitannya dengan skenario perubahan iklim saat ini, praktik agroforestry dapat dipandang sebagai opsi yang layak untuk memerangi dampak negatif dari perubahan (Singh, et al, 2013). Agroforestry memiliki potensi besar untuk mengurangi dampak kekeringan, mencegah pembentukan padang tandus/gurun dan memulihkan tanah yang terdegradasi. Dengan perubahan iklim yang diperkirakan akan menyebabkan musim yang tidak menentu di masa yang akan datang, yang menyebabkan tekanan lebih besar pada sistem pertanian, produksi pangan dan harga pangan, agroforestry menjadi pilihan yang layak untuk membantu menyangga petani terhadap dampak perubahan iklim tersebut. Oleh karena itu, agroforestry memiliki banyak potensi, seperti meningkatkan produktivitas (biomassa) secara keseluruhan, peningkatan kesuburan tanah, konservasi tanah, daur hara, peningkatan iklim mikro, penyerapan karbon, drainase hayati (penyerapan air oleh sistem perakaran tanaman dan struktur tanah yang genbur olah adanya bahan organik), bahan bakar hayati dan lain-lain. Agroforestry dan Mitigasi Terhadap Perubahan Iklim Perubahan iklim merupakan tantangan lingkungan global paling penting yang dihadapi oleh semua makhluk hidup termasuk manusia dan mengganggu ekosistem alami, pertanian, dan kesehatan. Perubahan dalam pola iklim dan cuaca ini menyebabkan produksi pertanian tidak berkelanjutan. Dalam situasi ini, agroforestry menjadi pilihan yang layak untuk mengurangi perubahan iklim dan mengurangi pemanasan global dengan menyerap gas rumah kaca (CO2) melalui proses penangkapan karbon. Artinya agroforestry, seperti halnya hutan, memiliki potensi dalam penyimpanan karbon yang ditangkap dari atmosfer. Oleh karena itu, agroforestry sebagai suatu bentuk pertanian cerdas iklim dapat merupakan pilihan dalam adaptasi yang menjanjikan bagi petani di negara-negara berkembang. Beragam manfaat adaptif agroforestri telah ditunjukkan di berbagai wilayah seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Tengah dan Selatan. Di samping itu itu, introduksi varietas-varietas tanaman ynag resisten terhadap cekaman, penanaman campuran, reboisasi dan praktik agroforestry telah menjadi langkah perbaikan utama untuk mengurangi perubahan iklim yang sekaligus membantu mengangkat status sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, agroforestry yang berkelanjutan dapat meningkatkan ketahanan terhadap perubahan lingkungan, meningkatkan penyerapan karbon dan juga untuk menghasilkan pendapatan, yang pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan mata pencaharian petani kecil dan subsisten. Sebagai contoh. sistem pemanfaatan lahan dusung yang merupakan suatu bentuk agroforestry, telah lama diterapkan oleh penduduk pulau-pulau di Maluku, dan terbukti dapat mempertahankan fungsi ekonomi, sosial, budaya serta fungsi konservasi terhadap sumberdaya lahan yang dapat menopang kesejahteraan masyarakat petani, memelihara dan memperbaiki kualitas lingkungan dan keberlanjutannya, sesuai dengan azas konservasi. Karena perannya yang konservatif, dusung juga dapat diharapkan mampu menunjang mitigasi dan konservasi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, sistem agroforestry dusung sesuai untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, menjaga kestabilan DAS, optimalisasi proses hidro-orologis, penyerapan/penyimpanan karbon, mampu menghasilkan multi-produk (barang dan jasa), serta menjamin kelestarian pulau-pulau kecil dan kesejahteraan masyarakatnya. Agroforestry dengan demikian tidak hanya menghilangkan karbon tetapi juga menyediakan makanan, serat, obat-obatan, dan memberikan kenyamanan lingkungan bagi manusia, selain habitat bagi burung, serangga, reptil, katak, dan spesies lainnya. Salah satu jenis agroforesty yang biasa ditemukan di daerah tropis adalah berupa “hutan makanan,” kebun tanaman pangan semusim yang ditumbuhi pohon-pohon dan tanaman yang menghasilkan buah-buahan serta cash crops seperti kelapa, kakao, cengkih, pala dan lainlain. Karena kebanyakan agroforestry mengakar pada pelaksananya yang merupakan komunitas agraris setempat, maka agroforestry dapat memberi penghidupan yang layak bagi masyarakat perdesaan sehingga kecil kemungkinannya bahwa petani atau pelaksana agroforestry akan bermigrasi ke kota-kota untuk mencari pekerjaan. Dengan demikian agroforestry dapat mencegah urbanisasi dan sistem agroforestry itu akan dengan sendirinya berkelanjutan. Msyarakat lokal, dan terutama penduduk asli, secara jangka panjang menjadi pengurus dan pelestari tanah mereka karena umumnya mereka mendapatkan keuntungan besar ketika mereka menerapkan teknik agroforestry. Perubahan iklim memang merupakan tantangan lingkungan global paling penting yang dihadapi oleh semua organisme hidup termasuk manusia dan mengganggu ekosistem alami, pertanian dan kesehatan. Dalam situasi ini agroforestry merupakan praktik pertanian yang handal dalam mengatasi masalah ketahanan pangan dengan kemampuannya dalam menyediakan makanan kepada penduduk, mengurangi dampak buruk perubahan iklim dengan meningkatkan kualitas lingkungan, mempertahankan kelayakan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup. Pustaka Forster P, V. Ramaswamy, P. Artaxo, T. Berntsen, R. Betts, D.W. Fahey. 2007. Changes in Atmospheric Constituents and in Radiative Forcing. In: S.Solomon S, D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.), Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Keeling R.F., S.C. Piper, A.F. Bollenbacher, J.S. Walker. 2008. Atmospheric CO2 records from sites in the SIO air sampling network. In Trends: A Compendium of Data on Global Change. Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, U.S. Department of Energy, Oak Ridge, Tenn., U.S.A. Singh N.R., M.K. Jhariy, A. Raj. 3013. Tree crop interaction in agroforestry system. Readers Shelf 10(3):15-16. Toppo, P. and A. Raj. 2018. Role of agroforestry in climate change mitigation. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry 7(2): 241-243. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara besar yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Pembangunan nasional Indonesia sudah semestinya mampu memanfaatkan sumberdaya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan di Indonesia harus dapat mewujudkan perekonomian yang terus mengalami pertumbuhan yang tercermin pada peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. Undang-undang Dasar kita mengamanatkan bahwa pembangunan ekonomi ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi haruslah menggunakan sumberdayayang dimiliki dan atau dikuasai oleh rakyat banyak. Dengan demikian pembangunan pertanian yang, yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, selayaknya mendapat prioritas dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Dalam kaitan dengan pembangunan pertanian di Indonesia, sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai oleh rakyat Indonesia meliputi sumberdaya manusia (tenaga, pikiran, waktu, nilai-nilai budaya dan moral) dan sumberdaya alam (lahan, hutan, perairan, keanekaragaman hayati, dan iklim tropis). Kedua sumberdaya tersebut merupakan keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia. Bila dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, sudah semestinya itu akan menjadikan pertanian Indonesia memiliki keungggukan kompetitif. Dengan demikian, pembangunan pertanian Indonesia harus didasarkan dan sepenuhnya memanfaatkan dan mendayagunakan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam tersebut (Kwik, 2002). Tak ada satu pun negara yang kini telah menjadi negara industri maju tanpa didahului atau diiringi dengan kemajuan sektor pertaniannya. Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan nasional, serta memiliki tiga peranan penting, yaitu: (1) dalam pembentukan produk domestik bruto, (2) sebagai penghasil devisa, dan (3) dalam pelestarian lingkungan hidup. Sejak berdirinya negara ini, pembangunan pertanian dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional, walaupun terdapat perbedaan implementasi antara pemerintah satu dengan pemerintah lainnya. Beberapa hal mendasari alasan pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan penting, antara lain: potensi sumberdaya alam yang besar dan beragam, besarnya pangsa terhadap pendapatan nasional, besarnya pangsa terhadap ekspor nasional, besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan (Kwik, 2002). Pertanian juga sangat penting sebagai penyerap tenaga kerja penduduk, yang di Indonesia pada 2012 sebesar 35.1% penduduk usia kerja berpencaharian di bidang pertanian, belum termasuk berbagai sektor penunjangnya. Potensi pertanian Indonesia memang besar, namun harus diakui bahwa perjalanan pembangunan pertanian hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika diukur dari tingkat kesejahteraan petani dan kontribusi pertanian pada pendapatan nasional. Beberapa kondisi dan permasalahan menjadi penyebab bahwa pembangunan pertanian di Indonesia belum mencapai sesuai yang diharapkan dalam memperkuat peranannya sebagaimana diuraikan sebelumnya. Di samping beberapa penyebab yang cukup komplek, yang terkait dengan kebijakan pemerintah, kondisi infrastruktor dan kelembagaan, permodalan, ketersediaan lahan, kondisi lingkungan dan lain-lain, kenyataan bahwa sebagian besar pertanian di Indonesia masih bersifat subsisten, dapat dilihat sebagai penyebab utama pembangunan pertanian di Indonesia berjalan lamban. Pertanian subsisten memiliki produktivitas rendah, tidak berorientasi pasar, dan sebagian besar output dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani (hanya sebagian kecil sisanya yang dijual atau diperdagangkan di pasar-pasar lokal). Pertanian subsisten juga tidak tanggap inovasi. Dengan demikian, pertanian subsisten kurang berperan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat, ataupun dalam meningkatkan devisa negara. Oleh sebab itu, pembangunan pertanian harus diprioritaskan untuk mendorong pertanian subsisten kearah agribisnis. Untuk ini diperlukan peran berbagai pihak, yang termasuk di dalamnya: masyarakat petani itu sendiri, kelembagaan swadaya, pemerintah, akademisi dan pendidik (termasuk penyuluh), sektor swasta (bidang agroindustri dan permodalan), dan tidak kalah pentingnya media massa. Peranan media massa inilah yang menjadi fokus bahasan dari makalah ini, khusunya mengubah orietasi para petani, serta pelaku dan penunjang usaha tani lainnya, untuk menjadi lebih berorientasi agibisnis. Pertanian, Subsistensi dan Agribisnis Sebelum masuk ke dalam fokus bahasan, pertama-tama penulis menyampaikan berbagai pengertian dan batasan yang terkait dengan topik. Pertanian dalam arti sempit adalah usaha atau kegiatan bercocok tanam. Sedangkan dalam arti luas pertanian adalah segala kegiatan manusia yang meliputi kegiatan bercocok tanam, perikanan, peternakan dan kehutanan. Terkait dengan ini, dikenal pula istilah petani (farmer) dan usaha tani (farming). Petani adalah penyelenggara usaha tani. Usaha tani (farming) adalah sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budi daya (tumbuhan maupun hewan). Obyek pertanian meliputi budidaya tanaman (termasuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan), kehutanan, peternakan, dan perikanan (Laksana, 2013). Berdasarkan perkembangannya pertanian dapat digolongkan menjadi: (1) pertanian ekstraktif, yaitu pertanian yang dilakukan dengan hanya mengambil atau mengumpulkan hasil alam tanpa upaya reproduksi. Pertanian semacam ini meliputi sektor perikanan dan ekstraksi hasil hutan, hewan dan tanaman liar atau tidak dibudidayakan, dan (2) pertanian generatif yaitu corak pertanian yang memerlukan usaha pembibitan atau pembenihan, pengolahan, pemeliharaan dan tindakan agronomis lainnya, yang berdasarkan meliputi: a) pertanian dengan perladangan berpindah (shifting cultivation) dan b) pertanian menetap (settled agricultured) (Laksana, 2013). Berdasarkan ciri tujuan ekonominya dikenal dua kategori pertanian, yakni pertanian subsisten dan pertanian komersial. Pertanian subsisten ditandai oleh ketiadaan akses terhadap pasar. Produk pertanian yang dihasilkan hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga, dan umumnya tidak dijual. Sebaliknya, pertanian komersial memiliki ciri sebagai perusahaan pertanian (farm) di mana pengelola usahatani telah berorientasi pasar. Dengan demikian seluruh output yang dihasilkan dari pertanian komersial ditujukan untuk dipasarkan dan menghasilkan revenue. Pertanian subsisten merupakan pertanian yang hanya ditujukan untuk swasembada. Petani terfokus pada usaha membudidayakan tanaman atau ternak penghasil bahan pangan dalam jumlah yang cukup untuk mereka sendiri dan keluarga. Ciri khas pertanian subsisten adalah memiliki berbagai variasi tanaman dan ternak untuk dimakan, terkadang juga tanaman serat untuk pakaian dan bahan bangunan. Keputusan mengenai tanaman atau ternak apa yang akan diusahakan bisanya bergantung pada apa yang keluarga tersebut biasa makan atau kebutuhan lain yang perlu diadakan. Meski mengutamakan swasembada sendiri dan keluarga, sebagian besar petani subsisten juga menjual sebagian hasil pertanian mereka demi mendapatkan barang-barang kebutuhan sehari-hari dan yang tidak bisa dihasilkan di lahan sendiri, seperti kebutuhan pokok pangan, sandang, bahan bangunan dan untuk pendidikan dasar anak-anak. Pertanian subsisten merupakan pertanian input rendah, minimal dalam penggunaan teknologi, kurang tanggap inovasi dan sulit didorong untuk menjadi lebih produktif. Pertanian subsisten masih banyak dipraktekkan di Indonesia. Termasuk pada sistem pertanian subsisten ini adalah: (1) pertanian perladangan berpindah, (2) penggembalaan nomaden, dan (3) pertanian subsisten intensif. (Tony Waters, 2007; Id.Wikipedia). Di samping pertanian moderen khususnya di wilayah-wilayah tertentu di Jawa dan perkebunan-perkebunan besar di luar Jawa, di Indonesia terdapat tingkat kemajuan pertanian tradisional yang sangat beragam, mulai dari pertanian ekstraktif sampai pertanian subsisten intensif. Contoh pertanian ekstraktif adalah peramuan sagu untuk mendapatkan bahan pangan berupa tepung, yang banyak dipraktekkan di wilayah timur Indonesia. Di wilayah dengan penduduk yang padat, seperti di Jawa, pertanian subsisten intensif lebih dominan, dimana petani menggunakan lahan sempit yang mereka miliki untuk menghasilkan hasil pertanian yang cukup untuk konsumsi sendiri. Sementara itu sebagian kecil hasilnya dijual untuk memenuhi kebutuhan lain. Petani menggunakan peralatan sederhana untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan mengintensifkan teknik budidaya. Namun, kemampuan produksi petani kelompok ini juga tergolong rendah. Bentuk dari pertanian komersial dan berorientasi pasar adalah agribisnis. Agribisnis adalah bisnis yang berbasis usaha pertanian atau bidang penunjang lainnya, baik di sektor hulu maupun sektor hilir. Pada mulanya, penyebutan hulu dan hilir mengacu pada pandangan pokok bahwa agribisnis bekerja pada rantai sektor pangan. Agribisnis adalah cara pandang ekonomi bagi usaha penyediaan pangan. Pada perkembangannya tentunya cakupan agribisnis bukan hanya budidaya tanaman penghasil pangan saja tetapi juga objek pertanian lainnya, karena pemanfaatan produk pertanian telah berkaitan erat dengan industri farmasi, kimia, dan penyediaan energi. Sebagai subyek akademik, ‘agribisnis’ mempelajari strategi memperoleh keuntungan dengan mengelola aspek budidaya, penyediaan bahan baku, pascapanen, proses pengolahan, hingga tahap pemasaran. Dalam konteks manajemen agribisnis di dalam dunia akademik, setiap elemen dalam produksi dan distribusi pertanian dapat dijelaskan sebagai aktivitas agribisnis (Ng, 2009; Id.Wikipedia). Obyek agribisnis dapat berupa tumbuhan, hewan, ataupun organisme lainnya. Kegiatan budidaya merupakan inti dari agribisnis, meskipun suatu perusahaan agribisnis tidak harus melakukan sendiri kegiatan ini. Berbeda dengan pertanian subsisten, produk agribisnis tidak dimanfaatkan oleh pelakunya (pengusaha tani), sebab bila demikian, kegiatan ini termasuk pertanian subsisten, dan merupakan kegiatan pra agribisnis. Pemanfaatan sendiri dapat berarti juga menjual atau menukar untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Agribisnis juga mencakup bisnis yang memproduksi benih dan bahan kimia pertanian, pakan ternak, alat dan mesin pertanian, pemrosesan bahan pertanian, produksi biofuel, hingga wisata pertanian (agro wisata) yang mulai marak berkembang di Indonesia. Dalam kaitan dengan penyediaan energi, misalnya, bahan bakar hayati (biofuel) yang dihasilkan dari tanaman pertanian saat ini mendapatkan perhatian yang besar karena isu perubahan iklim yang semakin intens dan peningkatan harga bahan bakar fosil ( Id.Wikipedia). Agribisnis memiliki beberapa subsistem. Subsistem agribisnis hulu (upstream, off-farm) meliputi kegiatan ekonomi yang menyediakan sarana produksi bagi pertanian, seperti industri dan perdagangan agrokimia (pupuk, pestisida, dan lain-lain), industri agrootomotif (mesin dan peralatan), dan industri benih/bibit. Subsistem produksi/usahatani (on-farm) meliputi kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan oleh subsistem agribisnis hulu untuk menghasilkan produk pertanian primer, yang didalamnya mencakup usahatani berupa usaha tanaman pangan, usaha tanaman hortikultura, usaha tanaman obat-obatan, usaha perkebunan, usaha perikanan, usaha peternakan, dan kehutanan. Subsistem agribisnis hilir (downstream, off-farm) berupa kegiatan ekonomi yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir, beserta kegiatan perdagangan di pasar domestik maupun internasional, yang didalamnya mencakup industri pengolahan makanan, industri pengolahan minuman, industri pengolahan serat (kayu, kulit, karet, sutera, jerami), industri jasa boga, industri farmasi dan bahan kecantikan, dan lain-lain, beserta kegiatan perdagangannya. Yang terakhir, subsistem lembaga penunjang (off-farm) meliputi seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian dan pengembangan, sarana tataniaga, transportasi, lembaga pendidikan dan penyuluhan, lembaga kerjasama kelompok (farmers union, kelompok tani) dan lembaga pemerintah (kebijakan fiskal dan moneter, perdagangan internasional, kebijakan tata-ruang, serta kebijakan lainnya). Berbeda dengan pertanian subsisten, agribisnis berpeluang lebih besar berperanan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat, serta devisa negara. Dengan demikian, pembangunan pertanian menuju agribisnis mesti menjadi prioritas. Pembangunan dan Pendidikan Pertanian Pembangunan Pertanian Menuju Agribisnis Visi pembangunan pertanian di Indonesia adalah membangun petani melalui bisnis pertanian yang modern, efisien, dan lestari yang terpadu dengan pembanguna wilayah. Pembangunan pertanian ditujukan untuk selalu meningkatkan produksi pertanian serta meningkatkan pendapatan dan produktivitas usaha petani, dengan jalan menambah modal serta pengetahuan dan ketrampilan, sehingga kendali manusia di dalam perkembangan tanaman, ternak atau organism lain yang diusahakan, dapat ditingkatkan. Pembangunan pertanian merupakan suatu bagian integral daripada pembangunan ekonomi dan masyarakat secara umum (Mosher, 1969; Id.Wikipedia). Hal ini karena pertanian merupakan sektor utama penghasil bahan-bahan makanan dan bahan-bahan industri yang dapat diolah menjadi bahan sandang, pangan, dan papan yang dapat dikonsumsi maupun diperdagangkan. Pembangunan pertanian juga merupakan proses yang menghasilkan perubahan sosial baik nilai, norma, perilaku, lembaga, sosial dan sebagainya demi mencapai pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat. Tujuan pembangunan pertanian di Indonesia (menurut Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Pelita II, 1981) adalah: (1) Meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan gizi masyarakat, (2) Meningkatkan tingkat hidup petani melalui peningkatan penghasilan petani, (3) Memperluas lapangan kerja disektor pertanian dalam rangka perataan pendapatan, (4) Meningkatkan ekspor sekaligus mengurangi impor hasil pertanian, (5) Meningkatkan dukungan yang kuat terhadap pembangunan industri untuk menghasilkan barang jadi atau setengah jadi, (6) Memanfaatkan dan memelihara kelestarian sumber alam, serta memilihara dan memperbaiki lingkungan hidup, dan (7) Meningkatkan pertumbuhan pembangunan pedesaan secara terpadu dan serasi dalam kerangka pembangunan daerah. Tujuan pembangunan pertanian tersebut sesungguhnya masih relevan untuk diterapkan saat ini. Akan tetapi, dengan trend perkembangan perekonomian dunia dan perubahan iklim global yang sedang terjadi saat ini, pembangunan pertanian di Indonesia mesti ditujukan juga untuk menhadapi trend yang sedang terjadi itu. Syarat-syarat bagi terlaksananya pembangunan pertanian meliputi pasaran hasil produksi pertanian, tehnologi baru, tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, perangsang produksi bagi petani, dan pengangkutan. Pembangunan pertanian juga membutuhkan faktor pelancar, yang meliputi: pendidikan pembangunan (pertanian), kredit produksi, kerjasama antar petani, perbaikan dan perluasan tanah pertanian, serta perencanaan nasional pembangunan pertanian (Mosher, 1969; Hadisapoetro, 1975). Harus disadari bahwa pembangunan pertanian kearah agribisnis mencakup penataan dan pengembangan seluruh subsistem agribisnis sebagaimana diuraikan sebelumnya. Di samping itu, pembangunan pertanian menuju agribisnis tidak hanya berurusan dengan pembangunan usaha tani (farming), tetapi juga pembangunan petani (farmer) serta pelaku agribisnis lainnya, dalam bentuk pemberdayaan dan peningkatan kompetensi mereka. Keberhasilan pembangunan pertanian tidak lepas dari kualitas SDM sebagai pelaksana. Petani dan keluarga tani sebagai SDM mempunyai peran ganda dalam pembangunan itu, yaitu selain menjadi obyek, mereka juga merupakan subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, mereka merupakan sasaran pembangunan untuk diberdayakan dan disejahterakan. Sedang sebagai subyek pembangunan, mereka mesti juga berperan sebagai pelaku pembangunan. Pendidikan pertanian sebagai upaya untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan diharapkan mampu mendukung pembangunan pertanian. Dalam pembangunan pertanian menuju agribisnis, dengan demikian, pendidikan pertanian punya peranan yang sangat penting. Pendidikan Pertanian Menuju Agribisnis Pendidikan pertanian merupakan proses yang ditujukan untuk menghasilkan perubahan yang positif terhadap peserta dan sasaran didik, dalam hal pengetahuan, ketrampilan, nilai, norma dan perilaku mereka, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap kelembagaan pertanian dan masyarakat tani. Mengingat ketertinggalan pembangunan pertanian di Indonesia yang makin kita rasakan akhir-akhir ini, maka pertanian kita tidak boleh dibiarkan tetap didominasi oleh pertanian subsisten, yang kurang produktif dan kurang menjamin keberlanjutan (sustenabilitas). Dengan demikian, untuk memberdayakan dan mengubah perilaku para petani maka pendidikan pertanian menuju agribisnis merupakan sebuah urgensi. Sebagaimana sistem pendidikan pada umumnya, pendidikan pertanian dapat ditinjau dan dilaksanakan dengan tiga segi, yaitu: - Sistem pendidikan formal terdiri dari sekolah umum, sekolah kejuruan, sekolah kedinasan dan sekolah khusus, dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. - Sistem pendidikan non formal seperti kursus-kursus, pelatihan, dan penyuluhan. - Sistem pendidikan informal terdiri dari sarana keluarga, media massa, tempat kerja, alat hiburan rekreatif, organisasi dan lain-lain. Tujuan capaian pendidikan pertanian pada prinsipnya juga sama dengan pendidikan pada umumnya, yaitu kompetensi para peserta/sasaran didik dalam tiga segi yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan perilaku sesuai bidangnya. Dengan kata lain, pendidikan pertanian, baik secara formal, non formal atau informal, mesti mampu meningkatkan kompetensi para peserta ataupun sasaran didik dari segi pengetahuan, ketrampilan dan perilaku, walaupun kurikulumnya (jika ada) bisanya belum tertata baik dan dilaksanakan sebagaimana pendidikan formal. Dalam konteks bahasan ini, pendidikan (dan penyuluhan) pertanian seyogyanya mampu mencapai tujuan bahwa petani, keluarga tani, masyarakat tani dan para pelaku usaha tani lainnya, menjadi lebih berorientasi atau berperilaku agribisnis serta lebih kompeten dari segi pengetahuan dan ketrampilan dalam melaksanakan dan menunjang agribisnis. Ada indikasi bahwa generasi muda saat ini kurang tertarik untuk bekerja di sektor pertanian, dan ini juga tergambar dari menurunnya minat tamatan sekolah menengah atas untuk melanjutkan ke fakultas pertanian dalam dasawarsa terakhir. Di Maluku misalnya, animo untuk masuk ke fakultas pertanian saat ini relatif rendah. Sarjana tamatan fakultas pertanian seringkali enggan pulang ke daerah asalnya, semestara di antara mereka yang orang tuanya petani atau memiliki lahan pertanian juga enggan untuk melakukan wirausaha pertanian. Tracer study yang telah kami lakukan (tahun 2011) menunjukan bahwa kurangnya minat anak muda masuk fakultas pertanian atau bekerja di sektor pertanian adalah karena mereka memandang bahwa bekerja pada usaha tani kurang menarik dan ‘rendah’ karena ‘bekerja dengan tanah’, serta tidak dapat diandalkan untuk menghasilkan uang. Dan ini mereka lihat dari pengalaman orang tua atau keluarga mereka yang petani. Regenerasi SDM pelaku pembangunan pertanian selama ini umumnya masih dilakukan secara informal (keluarga) atau turun temurun. Usaha untuk mengaitkan pembangunan pendidikan dengan pembangunan pertanian juga belum dilakukan secara maksimal, sehingga lulusan yang dihasilkan dari pendidikan pertanian formal banyak yang bekerja di luar sektor pertanian. Sehingga terjadi stagnansi dalam regenerasi SDM di sektor pertanian. Stagnansi ini dikhawatirkan dapat menjadi kendala serius pembanguan pertanian menuju agribisnis yang produktif dan berkelanjutan. Oleh sebab itu, peranan pendidikan pertanian yang bersifat non formal dan informal melalui melalui berbagai media massa, seperti televisi, menjadi sangat penting untuk mempromosikan pertanian dalam rangka pembangunan dan revitalisasi pertanian. Peran Televisi dalam Pendidikan dan Promosi Agribisnis Televisi Sebagai Media Pendidikan Pertanian Dengan jangkauan siarannya yang luas, dalam kaitan dengan pendidikan pertanian televisi dapat memiliki peranan penting dalam beberapa segi, yaitu dalam: (1) pendidikan non formal (khususnya penyuluhan) dan informal, (2) penyampaian informasi, (3) komunikasi dan promosi pertanian; yang semuanya ditujukan untuk menjadikan pertanian di Indonesia sebagai agribisnis. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa televisi dapat menjadi media yang efektif dalam “mendidik dan mengajak masyarakat petani membangun pertaniannya ke arah agribisnis”. Harus diakui bahwa mendidik dan mengajak masyarakat tani, khususnya yang masih subsisten, untuk membangun pertaniannya kearah agribisnis tidaklah mudah. Hal ini karena yang harus dibangun dan diperbaiki tidak hanya pengetahuan dan ketrampilan para pelaku pertanian itu tetapi juga nilai (value, mindset) and perilaku (attitude) mereka. Sementara itu, jumlah pelaku pertanian subsisten di Indonesia sangat besar, dan umumnya mereka kurang tanggap perubahan dan inovasi karena praktek pertanian yang mereka lakukan sudah berlangsung dari generasi ke generasi. Dengan demikian, mendidik dan mengajak masyarakat tani di Indonesia membangun pertaniannya kearah agribisnis sesungguhnya merupakan tantangan tersediri. Dan dalam menghadapi tantangan itu, bersama-sama dengan lembaga-lembaga pemdidikan pertanian formal, non formal dan informal lainnya, televisi dapat memainkan perannya. Hal ini selama ini telah dilakukan oleh beberapa stasion televisi, khususnya TVRI. Televisi memiliki berbagai keunggulan dalam pemanfaatan sebagai media penyampaian informasi, komunikasi dan pendidikan pertanian. Pada saat ini sebagian besar keluarga di Indonesia memiliki pesawat televisi yang berfungsi sebagai sarana hiburan dan informasi, dan siaran televisi telah menjangkau sebagian besar wilayah Indonesia sampai ke polosok-pelosok. Berdasarkan hal tersebut, media televisi dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan dan penyuluhan pertanian yang bersifat massal. Dalam kaitan ini berbagai keunggulan televisi meliputi: (1) Siaran televisi dapat ditangkap oleh beberapa indera manusia sekaligus, (2) Siaran televisi dapat menjangkau sasaran penyuluhan secara luas dan singkat, (3) Mata acara televisi dapat disampaikan dengan format hiburan, sehingga peluang pemirsa yang menonton cukup tinggi, (4) Banyak variasi bentuk acara televisi yang dapat dipilih oleh penonton, dan (5) Banyak macam format penyajian pesan untuk menarik perhatian penonton (Kusnadi, 1994). Bentuk-bentuk siaran televisi yang sering terdapat dalam program penayangan televisi di Indonesia antara lain berupa: uraian, reportase, dialog, wawancara, diskusi, laporan dan hiburan. Dalam penyampaian informasi, komunikasi dan pendidikan/ penyuluhan pertanian, perlu dipilih di antara bentuk-bentuk siaran tersebut sehingga tujuannya dapat tercapai secara optimal. Sebagai contoh untuk penyampaian informasi pertanian, siaran dalam bentuk uraian atau laporan lebih tepat digunakan. Agar lebih menarik dan efektif, penyuluhan dan promosi agribisnis dapat dikemas ke dalam bentuk hiburan, atau dalam bentuk dialog tentang keunggulan dan pentingnya agribisnis. Televisi merupakan salah satu media massa dan alat bantu penyuluhan pertanian yang ampuh untuk menambah jumlah sasaran yang dijangkau. Petani sebagai sasaran pendidikan dan penyuluhan pertanian yang jumlahnya banyak dan menyebar di berbagai wilayah tentu akan sulit untuk dijangkau dengan metode penyuluhan langsung karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya operasional yang tidak sedikit. Melalui siaran televisi, misalnya, kegiatan pendidikan penyuluhan pertanian tidak harus selalu dihadiri secara langsung oleh penyuluh dalam kegiatan penyampaian materi penyuluhan. Materi penyuluhan dapat disisipkan pada acara hiburan yang digemari oleh petani dan pelaku pertanian lainnya. Melalui siaran televisi pendidikan, penyuluhan dan promosi pertanian dapat dilakukan secara massal, kontinyu dan menarik, yang dengan demikian diharapkan dapat turut membangun pengetahuan, ketrampilan dan perilaku para pelaku pertanian dalam mengembangkan dan melaksanakan agribisnis. Penggunaan televisi secara terencana dan kontinyu sebagai media pendidikan dan penyuluhan pertanian pada akhirnya akan bermuara pada proses perubahan nilai dan perilaku para sasaran didik (dalam hal ini khususnya petani pemirsa siaran televisi) serta adopsi pengetahuan dan inovasi yang nantinya akan mereka terapkan. Hal ini erat kaitannya dengan metode dan proses komunikasi melalui media siaran televisi yang dapat menampilkan visualisasi pesan yang lebih menarik daripada media komunikasi yang lain. Manfaat dan efektivitas siaran televisi sebagai media mengkomunikasikan informasi pertanian, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pengetahuan dan mengubah secara positif perilaku petani sebagai audience, didukung oleh beberapa hasil penelitian ilmiah (mis. Nazari dan Hasan, 2011; Díaz-Pichardo et al., 2012; Nazri et al., 2012). Mempromosikan Agribisnis Melalui Siaran Pertanian di Televisi Ada beberapa hal yang perlu diperhatihan dalam penyiapan program siaran televisi dalam rangka penyuluhan dan promosi agribisnis, yang meliputi: (1) pelaku (penyuluh, pakar, sumber pengalaman), (2) metode dan bentuk siaran, (3) sasaran siaran, (4) topik dan materi siaran, serta (5) pembuatan dan penanyangan siaran (Kartasapoetra, 1987; Id.Wikipedia). Berikut hanya dibahas tentang pelaku, sasaran, serta topik dan materi siaran. Secara teknis pelaku program siaran televisi dalam rangka penyuluhan dan promosi agribisnis sudah barang tentu adalah stasion televisi. Namun demikian siapa pun atau pihak manapun yang hendak menjadi pelaku dalam mempengaruhi opini publik untuk mewujudkan sesuatu yang baik, seperti misalnya mempengaruhi masyarakat tani untuk membangun pertanian menuju agribisnis yang baik, dapat penggunakan media televisi sebagai media komunikasi yang strategis. Pihak pemerintah, dalam hal ini kementerian pertanian atau kementerian terkait, lembaga-lembaga penelitian, perguruan tinggi, swasta agribisnis, union atau kelompok tani dan stakeholder lainnya, dapat menjadi pelaku pendidikan/penyuluhan dan promosi agribisnis yang menggunakan media televisi. Dengan demikian stasion televisi perlu menggalang kerjasama dengan berbagai pelaku potensial tersebut. TVRI merupakan badan penyiaran publik dan stasion televisi yang terus mengupayakan hal ini dalam partisipasinya membangun pertanian yang tangguh di Indonesia. Sesuai dengan topik makalah ini, sasaran utama program siaran pertanian adalah masyarakat petani (khususnya dari lingkup subsisten) dan para pelaku agribisnis. Di samping itu terdapat sasaran lainnya yang meliputi: para penunjang pada seluruh subsistem agribisnis, pemerintah dan stakeholder pertanian lainnya, para wakil rakyat yang mewakili petani yang menentukan kebijakan di bidang pertanian, serta pihak-pihak lain yang punya interest tehadap pembangunan pertanian. Sementara itu, yang tidak kalah penting dan harus menjadi sasaran strategis program siaran untuk promosi agribisnis adalah generasi muda perdesaan dan daerah-daerah yang mempunyai potensi pertanian yang besar, karena keberadaan dan pola pikir mereka sangat menentukan perkembangan agribisnis di wilayan mereka. Jika mereka bisa diajak menjadi pelaku wirausaha agribisnis dan mereka dibekali dengan kompetensi pengetahuan, ketrampilan dan perilaku agribisnis yang memadai, di masa mendatang mereka dapat berperan sebagai change agents dalam pembangunan pertanian kearah agribisnis. Topik-topik siaran pertanian di televisi mencakup berbagai hal tentang pembangunan dan pendidikan/penyuluhan pertanian, mulai dari kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pertanian, seperti kebijakan kredit pertanian dan perdagangan impor/ekspor produk pertanian, sampai penyuluhan teknis budidaya pertanian, seperti perbanyakan tanaman atau pembuatan pakan ternak. Tergantung dari tujuan yang hendak dicapai dan audience sasaran utama, metode siaran dapat dipilih yang paling efektif, di antara bentuk-bentuk yang ada, seperti uraian, reportase, dialog, wawancara, diskusi, laporan dan hiburan. TVRI tentunya sudah memiliki pengalaman yang panjang tentang hal ini. Pada saat ini dirasakan masih terdapat kesenjangan yang lebar antara hasil-hasil penelitian dan inovasi di perguruan-perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian pertanian dengan praktek-praktek pertanian yang dilakukan oleh petani di sebagian besar wilayah Indonesia. Sehingga, seolah-olah hasil-hasil penelitian dan inovasi itu ‘mubazir’ dan kurang bermanfaat dalam membangun pertanian, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat petani subsisten maupun dalam pembangunan agribisnis secara meluas. Juga terdapat kesenjangan yang lebar antara petani dan usaha tani yang maju dan berorientasi agribisnis, yang banyak di antaranya terdapat di dekat kota-kota besar di Jawa, dengan petani dan praktek pertanian substraktif, subsisten/tradisional dan tertinggal, yang masih banyak ditemui di luar Jawa, seperti di banyak daerah di kawasan timur Indonesia. Dengan demikian, program siaran pertanian di televisi yang ditujukan mengangkat masyarakat petani subsiten dan tertinggal menuju agribisnis diharapkan dapat berperan menjembatani kedua kesenjangan tersebut. Sesuai dengan topik makalah ini serta berdasarkan pengamatan penulis terhadap siaran-siaran pertanian di televisi, maka di sini dapat disampaikan beberapa contoh topik dan materi siaran yang menarik dan bermanfaat untuk pendidikan, penyuluhan dan promosi agribisnis, sebagai tambahan terhadap topik yang selama ini sudah bisa ditayangkan, antara lain:
Penutup Kiranya tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan kepada Dewan Pengawas LPP TVRI, untuk dikaji dan dianalisis lebih lanjut dan dapat menjadi rujukan bagi evaluasi dan perbaikan Program Pertanian TVRI di masa mendatang. Pustaka Díaz-Pichardo, R., C. Cantú-González, P. López-Hernández and G. McElwee. 2012. From Farmers to Entrepreneurs: The Importance of Collaborative Behaviour. Journal of Entrepreneurship, 21 (1):91-116. Hadisapoetro, S. 1975. Pembangunan Pertanian. Yogyakarta: UGM. Kusnadi, T. 1994. Teknik Penyuluhan Pertanian. Universitas Terbuka. Jakarta. Kwik, K.G. 2002. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Nasional: Sektor Pertanian Sebagai “Prime Mover” Pembangunan Ekonomi Nasional. Makalah Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Partai Golkar bidang Pertanian, Kehutanan dan Kelautan di Jakarta, 2 November 2002. Laksana, S. 2013. Model dan Strategi Pengembangan Pertanian Agribisnis. http://disperta.cianjurkab. go.id/index.php, diakses November 2014. Mosher, A.T. 1969. Getting Agriculture Moving: Essentials for Development and Modernization . Frederick A. Praegar Publ. Nazari, M.R., Md.S. Hassan, S. Parhizkar, B. Hassanpour, M. Al-Imran Bin Yasin. 2012. Role of Broadcast Media in the dissemination of agricultural knowledge. Archives Des Sciences 65 (3): 45-55. Nazri, M.R. and Md.S. Hassan. 2011. The role of television in the enhancement of farmers’ agricultural knowledge. African Journal of Agricultural Research. 6(4);931-936. Ng, D dan Siebert, J.W. 2009. Toward Better Defining the Field of Agribusiness Management. International Food and Agribusiness Management Review 12 (4). Waters. T. 2007. The Persistence of Subsistence Agriculture: life beneath the level of the marketplace. Lanham, MD: Lexington Books. Wikipedia dalam Bahasa Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/, diakses November 2014. Tulisan ini Merupakan Makalah dengan Pemikiran Disampaikan kepada Dewan Pengawas TVRI Pada Workshop tentang Siaran Pertanian, Mataram, 18 November 2014. Tulisan terdapat di link, klik di sini Tulisan ini saya mulai dengan menyampaikan pandangan saya dari daratan terhadap laut, dan dari pandangan tersebut tentang bagaimana memuliakan laut. Terlebih khusus akan dibahas bagaimana membangun pertanian kepulauan yang tepat untuk memanfaatkan lahan pada lingkungan pulau-piulau kecil.
Laut dan lautan meliputi 92,4% dari total wilayah Provinsi Maluku, sekitar 65% dari total wilayah Negara Indonesia (luas laut teritorial, ZEE dan 12 mil), dan sekitar 70% permukaan bumi. Artinya, laut dan lautan mendominasi wilayah Provinsi Maluku, Negara Indonesia dan dunia, dan dengan demikian mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap seluruh kehidupan di laut maupun di darat. Marine science dan oceanoghraphy merupakan cabang-cabang ilmu yang telah berkembang cukup maju, mendiskripsikan berbagai aspek fisik, kimia, biologi dan geografi laut dan lautan. Telah diketahui laut dan lautan jelas sangat berpengaruh terhadap kehidupan di darat, termasuk kegiatan petanian. Pada wilayah kepulauan dengan pulau-pulau kecil, pengaruh laut terhadap kehidupan dan aktivitas di darat lebih nyata lagi. Sebaliknya, kegiatan yang terjadi di darat dalam jangka panjang atau dalam skala yang besar dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap laut dan lautan. Sungai, laut dan lautan cenderung menjadi sink dari aliran partikel fisik (seperti sedimen), senyawa-senyawa kimia (termasuk polutan), biomasa terdegradasi dan organism, khususnya mikroorganisme, yang dihasilkan atau timbul dari kegiatan pertanian (dalam arti luas) yang terjadi di darat. Jika aktivitas pertanian berlangsung dalam skala besar dan kurang memperhatikan dampak lingkungan, maka dampak negatifnya tidak hanya terjadi pada muara-muara sungai tetapi bisa sampai pada laut dan lautan yang jauh, karena sifat laut dan lautan itu sendiri yang memiliki pola arus tertentu. Pada gilirannya, segala sesuatu yang berasal dari kegiatan di darat itu dapat berpengaruh secara negatif terhadap segala dinamika kehidupan di laut. Laut yang subur dan kaya akan keanekaraganam hayati menjadi laut yang miskin. Pencemaran juga akan merusak kehidupan di sekitar pesisir, baik secara biologi maupun secara ekonomi, seperti rusaknya lingkungan pesisir, bakau, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, bahkan produktiivitas laut lepas. Selanjutnya saya uraikan bagaimana pertanian yang ada di Maluku saat ini, dalam kaitannya dengan tema ‘Memuliakan Laut”. Di antara berbagai tipe pertanian yang ada, pertanian Maluku didominasi oleh petanian kepulauan atau peranian pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik: berbukit/bergunung, memiliki DAS yang sempit, rentan terhadap kerusakan lingkungan dan bencana, kaya dengan keragaman hayati endemik, dan sebagian besar penduduknya tinggal di sepanjang pesisir. Pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, terhadap komponen biofisik dan sosio-ekonomi masyarakatnya. Sementara itu, dalam kaitannya dengan pertanian, pulau-pulau kecil di Maluku memiliki karakteristik: a) Rentan terhadap pemanasan global yang sedang terjadi saat ini, yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut, sehingga luas daratan makin berkurang, b) mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang cukup luas, sehingga wilayah perairan merupakan daya dukung utama pembangunan wilayah yang umumnya terjadi di darat, c) Daya dukung dan luas lahan yang terbatas untuk pertanian atau berkebun dan umumnya telah mengalami eksploitasi secara berlebihan, d) Peka terhadap bencana alam, seperti vulkanisme, gempa bumi dan tsunami, e) Umumnya terisolasi dan jauh dari pasar utama, f) Terbuka untuk sistem ekonomi skala kecil, namun sangat peka terhadap kejutan pasar dari luar dalam skala yang lebih besar, g) Rantai distribusi dan pemasaran mengalami kendala geografis dan rentang kendali yang panjang, h) Mempunyai infrastruktur pertanian yang terbatas, dan i) Pendidikan, keterampilan petani dan penduduknya serta teknologi sangat terbatas. Berbeda dari pertanian pulau besar yang bersifat kontinental, serta cenderung bersifat sektoral dan monokultur, pertanian pulau kecil yang ada di Maluku didominasi oleh sistem pertanian polikultur, misalnya dalam bentuk ‘dusung’ atau bentuk-bentuk agroforestri lainnya. Oleh sebab itu, konsep pembangunan pertanian untuk pulau-pulau kecil di Maluku mesti berbeda dengan pertanian kontinental. Namun, kenyataannya pola pertanian kontinental cenderung ‘dipaksakan’ melalui program-program pemerintah, seperti pengembangan kawasan komoditas, atau oleh motivasi ekonomi swasta dalam bentuk pembukaan perkebunan-perkebunan yang luas (misalnya kasus kelapa sawit). Sejarah dan pengalaman sejak zaman kolonial membuktikan bahwa jika pembangunan pertanian yang bersifat sektoral dengan sistem pertanian yang monokultur diterapkan pada pertanian di pulau-pulau kecil, maka tidak akan berhasil dan akan menimbulkan dampak negatif terhadap lahan, lingkungan dan masyarakat. Sebaliknya, pembangunan pertanian di Maluku perlu diarahkan untuk membangun, mengembangkan dan melestarikan sistem pertanian campuran atau polikultur, misalnya misalnya dalam bentuk ‘dusung’, yang memerlukan sistem pengelolaan yang non-sektoral, integratif dan holistik. Namun demikian, system pertanian yang demikian harus dikembangkan lebih lanjut secara science-based, agar lebih produktif dan lestari, sehingga mampu menyejahterakan masyarakat secara kerkelanjutan.. Salah satu konsep yang dapat dikembangkan untuk membangun pertanian kepulauan yang produktif, mensejahterakan masyarakat dan lestari (sustainable) adalah konsep ‘hulu-hilir’ yang padat dipandang dari dua sisi pandang. Sisi pandang pertama adalah berdasarkan geomorfologi pulau, dengan pengembangan pada bagian hulu dengan agroforestri, di antara hulu dan hilir dengan agrohortipastura, dan pada bagian hilir dengan marinkultur. Sisi pandang kedua adalah hulu-hilir berdasarkan sosial-ekonomi masyarakat, dengan penguatan masyarakat baik pada on-farm (budidaya tanaman) maupun off-farm (industri sarana pertanian, penanganan sektor permodalan, pengolahan hasil pertanian serta pemasaran). Untuk menunjang konsep pembangunan pertanian kepulauan diperlukan sistem pendidikan yang sesuai serta menyediakan tenaga professional dan terampil untuk membangun dan mengelola sistem pertanian yang sesuai dengan wilayah kepulauan, serta berbasis sumberdaya lokal. Ini bisa dicapai dengan pendirian dan pengembangan pendidikan vokasional, seperti politeknik dan community college, serta pendidikan para penyuluh pertanian secara khusus. Dalam implementasinya di Maluku, pembangunan pertanian di wilayah ini harus menyesuaikan dengan konsep gugus pulau, yang telah dikembangkan oleh Pemerintah Provinsi Maluku. Konsep kerterpaduan hulu-hilir secara geografis dari hulu ke hilir dan pantai perlu dilaksanakan dalam pengembangan komoditas pada setiap gugus pulau. Pengembangan pertanian berdasarkan gugus pulau juga harus dilakukan sesuai dengan karakteristik wilayah, dan penentuan komoditas andalan yang apabila mempunyai keunggulan kompetitif akan dijadikan komoditas unggulan pada suatu gugus puilau atau pasa skala wilayah yang lebih kecil. Membangun pertanian kepulauan juga perlu memperhatikan trend global dalam hubungan dengan emisi gas rumahkaca yang menyebabkan pemanasan global. Dalam hal ini, kerangka konseptual dalam pengembangan pertanian kepulauan harus mempertimbangkan kondisi ekologis, ekonomi dan sosial-budaya, serta diarahkan kepada pengembangan green economy yang dapat menjamin ekosistem pulau-pulau kecil, sumberdaya lahan dan hutan, kelestrian produksi, konservasi biodiversitas, stabilitas sosial ekonomi masyarakat kepulauan, serta adaptasi dan mitigasi untuk menghadapi perubahan iklim global yang sedang terjadi saat ini. Dalam perencanaan dan implementasinya untuk pengembangan kesatuan pengelolaan hutan, dimana semua fungsi hutan (produksi, koservasi, lindung) serta areal penggunaan lain harus dilakukan untuk menjaga fungsi hidrourologi yang berbasis DAS. Dengan dimikian untuk menjamin semua fungsi tersebut dapat dikembangkan agroforestry dan social forestry. Telah terbukti dalam sejarah, bahwa ‘dusung’ dan hutan yang ada di Kepulauan Maluku mampu melestarikan lahan darat pulau-pulau yang ada di sana, tetapi juga turut melestarikan pesisir, laut dan lautan di Maluku, jika ditinjau dari aspek biologi, ekologi, ekonomi dan estetika. Berdasarkan uraian di atas, berikut disampaikan beberapa pikiran tentang ‘membangun pertanian kepulauan yang memuliakan laut’:
Tulisan pada buku berikut: Raharjo, S. 2017. Membangun pertanian kepulauan yang memuliakan laut. Dalam: J.P. Haumahu, R. Maail. J.J. Fransz, H. Rahatta dan J. Titarsole (Eds), pp 210-216. Memuliakan Laut. Buah Pikiran Akademisi Universitas Pattimura. Pattimura University Press, Ambon. 281p Pertanian memainkan peran yang semakin penting dalam ekonomi berbasis hayati, yakni menyediakan bahan baku untuk produksi bahan bakar cair, bahan kimia, dan bahan-bahan canggih, seperti komposit serat alami untuk industri, selain fungsi utamanya yang konvensional yaitu menyediakan pangan dan pakan. Munculnya industri hijau memberikan peluang yang yang lebih luas pada sektor perdesaan di luar kehutanan tradisional yaitu untuk penyediaan kayu. Ilmu biologi memiliki kemampuan untuk melakukan peningkatan efisiensi secara bertahap dan untuk membawa perubahan radikal dalam berbagai sektor, termasuk sektor pertanian. Peranan ilmu biologi tersebut termasuk dalam produksi enzim, fermentasi dan organisme untuk proses dan produk dalam industri energi, kimia, farmasi, makanan, tekstil, serta pulp dan kertas.
Di samping itu, ilmu biologi dan ilmu tentang material yang bekerja sama dalam pertanian memiliki potensi yang sangat besar dalam sektor energi, komposit serat alam, dan pati. Sebagian besar potensi ini sudah direalisasikan, terutama ketika mempertimbangkan pertumbuhan yang cepat dari sektor bahan bakar hayati (biofuel). Pada saat ini, etanol sudah lazim diproduksi dari bahan baku yang asalnya dari pertanian yang mudah difermentasi seperti tebu, bit gula, biji-bijian sereal dan ubi kayu. Biodiesel diproduksi dari minyak nabati (biasanya rapeseed, kedelai dan minyak kelapa sawit) menggunakan proses modifikasi kimia yang disebut tranesterifikasi. Perkembangan produksi bahan bakar nabati cair telah bertambah dua kali lipat dengan cepat dari 68,3 juta ton pada tahun 2006 menjadi 130 juta ton pada tahun 2011. Produksinya saat ini menggunakan bahan baku yang diproduksi dari lebih dari 45 juta ha lahan. Ekonomi berbasis hayati yang berkembang didasarkan tuntutan untuk memenuhi efisiensi energi, stok pakan terbarukan dalam produk polimer, proses industri yang mengurangi emisi karbon dan bahan daur ulang. Produksi serat alami merupakan contohnya Misalnya, untuk menanam agas menhasilkan satu ton serat rami membutuhkan kurang dari 10 persen energi yang digunakan untuk produksi polipropilen untuk menghasilkan serat sintetis Pemrosesan sisal menghasilkan residu yang dapat digunakan dalam biokomposit untuk membangun rumah atau dibakar untuk menghasilkan listrik. Pada akhir siklus hidupnya, serat alami 100 persen dapat terurai secara hayati, dengan demikian jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan serta sintetis Serat alami memiliki sifat penting, yakno kekuatan mekanik, berat rendah dan biaya rendah, yang membuatnya sangat menarik bagi industri otomotif. Pabrikan mobil menggunakan abaca, rami, dan serat dari sabut kelapa dalam panel termoplastik cetak-tekan untuk komponen interior. Kepadatan rendah serat tanaman juga mengurangi berat kendaraan, yang mengurangi konsumsi bahan bakar. Di seluruh dunia, industri konstruksi beralih ke serat alami untuk berbagai produk, termasuk dinding struktural ringan, bahan insulasi, penutup lantai dan dinding, serta atap. Di antara inovasi terbaru adalah blok semen yang diperkuat dengan serat sisal yang sekarang sedang diproduksi di Tanzania dan Brasil. Di India, kekurangan kayu yang semakin meningkat untuk industri konstruksi telah memacu pengembangan papan komposit yang terbuat dari serat rami dan serat sabut, yang kandungan ligninnya tinggi, dan telah terbukti membuatnya lebih kuat dan lebih tahan terhadap pembusukan daripada kayu jati. Di Eropa, serat rami digunakan bersama semen dan membuat papan partikel berratnya setengah dari berat papan berbasis kayu. Geotextile adalah bentuk produk lain yang menjanjikan bagi produsen serat alami. Terbuat dari serat alami yang keras, material ini memperkuat kinerja tanah dan mendorong pertumbuhan tanaman dan pohon, yang memberikan penguatan lebih lanjut. Industri ekstrak pati dari tepung yang berasal dari sereal dan umbi-umbian telah mengembangkan bahan tersebut menjadi produk yang digunakan sebagai bahan dan suplemen dalam makanan fungsional, pakan dan non-makanan. Ada lebih dari 600 pati dan derivatifnya yang berbeda-beda, mulai dari pati asli hingga pati yang dimodifikasi secara fisik atau kimia, gula cair dan padat. Industri pati menggunakan teknologi enzimatik untuk hidrolisis, yang memainkan peran penting dalam pengembangan industry kimia hijau sebagai alternatif untuk menggantikan produk berbasis bahan bakar fosil. Misalnya, di sektor kimia, pati digunakan untuk produksi surfaktan, poliuretan, resin, plastik dan farmasi yang dapat mengalami biodegradasi. Ketika difermentasi, pati digunakan dalam produksi asam sitrat, asam laktat, asam amino, asam organik, enzim, ragi dan etanol. Aplikasi berbasis hayati lainnya yang melibatkan produk pati meliputi pengikat, pelarut, biopestisida dan pelumas. Ekonomi beberlanjutan berbasis pertanian yang berkembang pesat, terutama yang menghasilkan bahan bakar cair, memang telah menyebabkan adanya debat “makanan versus bahan bakar”. Hubungan antara industri hayati dan ketahanan pangan sangat kompleks dan bersifatmulti-dimensi. Untuk memastikan pengembangan berkelanjutan dari sektor hayati menjadi menantang ketika orang mencoba untuk menangkap manfaat potensial pertanian dan industri hayati ini dalam kaitan dengan pembangunan perdesaan, menghadapi perubahan iklim dan keamanan non-pangan. Misalnya, pertumbuhan yang cepat dan skala yang besar dari sektor biofuel memiliki potensi implikasi negatif terhadap keempat dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses, stabilitas, dan pemanfaatan), karena dapat mengakibatkan peningkatan persaingan untuk sumber daya tanah dan air, yang mengarah pada harga pangan yang meningkat dan kurang stabil. Namun, pada saat yang sama, hal itu dapat menciptakan lapangan kerja baru, peluang yang menghasilkan pendapatan, dan investasi dalam teknologi produksi. Peluang ini terutama bias terjadi di negara-negara dengan lahan marginal yang berlimpah dan iklim yang kondusif untuk produksi bahan baku, di mana lahan seperti itu akan terlalu mahal biayanya untuk dikembangkan bagi budidaya tanaman pangan. Peluang yang demikian itu ada, misalnya, di negara-negara Amerika Latin, Asia Tenggara dan Afrika sub-Sahara. Indonesia juga perlu menyambut perkembangan di dunia dalam penggali peluang pertanian danindustri berbasis hayati sebagaimana diuraikan sebelumnya. Pertanian masa depan tidak hanya berfungsi yang berkaitan dengan produksi pangan, sandang, bahan bangunan, tetapi juga bahan industri, obat-obatan dan energi. Di samping itu peranan pertanian akan menyangkut aspek yang lebih luas lagi, seperti produksi udara bersih dan oksigen, serapan CO2 (perdagangan karbon), estetika lansekap, air bersih dan agrowisata. Petani dan pengusaha tani dengan demikian harus lebih jeli melihat kesempatan-kesempatan yang ada untuk memproduksi barang dan jasa. Mereka harus mampu melihat pertaniannya sebagai sesuatu yang multi-fungsi. Pemerintah da swasta juga harus menciptakan kondisi yang baik bagi berkembangnya pertanian berbasis hayati serta mengembangkan SDM (khususnya pengusaha tani) yang kompeten untuk berusahatani yang berbasis hayati. Bacaan: www.Naturalfibres2009.org/en/index.html; www.europabio.org/Industrial_biotech; www.fao.org/bioenergy Hubungan antara genetika pertanian dan ekologi pertanian erat sekali. Kedua bidang tersebut semestinya saling melengkapi. Misalnya, pemuliaan tanaman, sebagai penerapan genetika dalam bidang pertanian, selalu berusaha menciptakan varietas tanaman yang tahan terhadap berbagai hama atau penyakit tertentu. Sedangkan sebenarnya, saling hubungan antara tanaman inang dengan hama ataupun penyakit merupakan aspek yang juga ditelaah dalam ekologi pertanian.
Kerapuhan (Vulnerabilitas) Genetik Vulnerabilitas genetik pada tanaman adalah kepekaan suatu varietas tanaman penting terhadap serangan yang merusak dari hama atau penyakit yang baru dikenal, sebagai akibat keseragaman genetik tanaman tersebut. Serangan hama atau penyakit yang hebat dan meluas dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Akan tetapi, dalam penelaahan tentang vulnerabilitas genetik, faktor yang menjadi pusat perhatiannya ialah keseragaman genetik dari suatu tanaman pertanian yang penting. Bencana kelaparan yang diakibatkan karena kerusakan pertanaman kentang di Irlandia merupakan contoh akibat dari vulnerabilitas genetik yang hebat. Kentang merupakan makanan pokok penting di Irlandia sejak diperkenalkan pada awal abad ke 17. Hingga awal tahun 1840-an, sebagian besar lahan pertanian di Irlandia ditanami dengan tanaman kentang, kebanyakan dari varietas/klon 'lumpers'. Varietas ini rentan terhadap penyakit lanas (disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans, yang sebelumnya tidak dikenal di Eropa. Pada tahun 1845 serangan lanas yang sangat hebat terjadi dan hingga tahun 1848 telah meluas ke negara-negara Eropa yang lain. Serangan lanas tersebut mengakibatkan bencana kelaparan yang terjadi pada tahun 1845 dan 1846; lebih dari dua juta orang meninggal dunia, dan dua juta orang lainnya mengungsi atau beremigrasi ke Amerika Utara. Ini merupakan contoh paling drastis dari suatu bencana yang disebabkan oleh sempitnya keanekaragaman genetik pada suatu tanaman pangan penting. Di Amerika Serikat pada tahun 1970 terjadi kehilangan 15% produksi jagung akibat penyakit daun Helminthosporium maydis pada tanaman jagung hibrida, dengan kerugian bebarapa milyar dollar. Seperti telah kita ketahui bahwa jagung hibrida mempunyai struktur genetik heterozigot yang seragam. Sebagian besar jagung hibrida di Amerika Serikat dibuat dengan menggunakan gen jantan steril Texas atau Texas cytoplasmic male sterile (Tcms). Jagung hibrida ini kebanyakan peka terhadap penyakit daun tersebut. Usaha pertanaman padi di Indonesia juga pernah dikejutkan oleh serangan yang hebat dari hama wereng pada awal tahun 1970-an, yaitu sesudah penggunaan Varietas unggul baru (terutama IR 5, IR 8, C 4, dan Pelita) yang tidak tahan wereng secara meluas di seluruh Indonesia. Sehingga wereng, beserta virus yang ditularkannya, telah menimbulkan kerusakan yang sangat hebat pada pertanaman padi di banyak daerah di Indonesia dan keadaan ini berlangsung beberapa tahun. Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa pertanaman monokultur yang meluas, dengan keadaan genetik yang seragam, dihadapkan atau selalu dibayang-bayangi oleh serangan yang hebat dari hama dan penyakit; karena secara evolusi hama dan penyakit akan memberikan tanggapan terhadap keadaan pertanaman tersebut. Jika suatu hama atau penyakit dengan wajah genetik baru tiba-tiba muncul pada suatu tanaman yang dulunya tahan, kemungkinan besar hama atau penyakit itu akan tersebar secara cepat pada populasi yang secara genetik seragam. Jika serangan hama atau penyakit itu berpengaruh besar terhadap hasil panen, maka akibatnya ialah kehilangan hasil yang sangat parah. Erosi Keragaman Genetik Keragaman genetik, baik pada tanaman-tanaman budidaya maupun pada tumbuh-tumbuhan liar, sangat penting dalam program-program pemuliaan tanaman. Namun pada saat ini, keragaman genetik yang sangat berguna itu tengah mengalami erosi dan pelenyapan dengan derap yang pasti. Tuntutan untuk memperoleh hasil panen yang tinggi mendorong digunakannya satu atau beberapa varietas saja yang berproduksi tinggi. Keseragaman dalam hal bentuk dan ukuran benih, tanaman, maupun hasil panen, dituntut dalam penggunaan teknologi, misalnya mekanisasi dalam pemeliharaan , pemanenan, serta pengolahan hasil panen dan benih. Keseragaman benih dan hasil panen sangat dituntut dalam teknik pemasaran yang selalu menekankan kepada penampakan. Ini semua mendorong digunakannya varietas-varietas tertentu yang seragam. Misalnyal hasil penelitian National Academy of Sciences pada tahun1972 di Amerika Serikat menyatakan bahwa hanya sebagian kecil (rata-rata kurang dari lima macam) dari seluruh varietas yang ada, yang digunakan pada sebagian besar areal pertanaman species-spesies tanaman penting. Dari 197 varietas jagung yang ada di Amerika Serikat, hanya 6 varietas menduduki 71% areal pertanaman jagung. Hanya 3 varietas kapas (dari total 50 varietas) ditanam pada 53% areal pertanaman kapas di negara itu. Sebagian besar tanaman kopi (Coffea arabica) di Amerika Selatan diturunkan dari tanaman tunggal saja, yaitu dari induk di Kebun Raya Amsterdam. Penggunaan varietas tertentu secara meluas sudah barang tentu mendesak dan mengorbankan varietas-varietas lokal yang ada. Akhirnya hal ini akan mengabibatkan kepunahan varietas-varietas lokal tersebut beserta keragaman genetiknya. Tekanan penduduk yang meluas menyebabkan kehancuran areal-areal yang luas dari habitat tanaman asli dan liar melalui penebangan-penebangan hutan, peralihan menjadi daerah pemukiman dan daerah pertanian monokultur. Hal ini juga akan mengorbankan spesies-spesies dan varietas-varietas yang ada. Konservasi Genetik Tanaman Konservasi genetika tanaman merupakan upaya untuk mempertahankan dan melestarikan keragaman genetik tanaman. Secara nyata usaha ini ditempuh dengan memelihara kelestarian Plasma nutfah tanaman. Plasma nutfah tanaman adalah bahan dasar penurunan sifat pada tanaman. Dalam bidang pertanian, plasma nutfah tanaman merupakan sumberdaya yang sangat berguna dalam pengembangan tanaman. Sumberdaya plasma nutfah tidak hauya mencakup spesies-spesies domestikasi yang ada, tetapi juga termasuk varietas primitip, keluarga liar, serta anggota-anggota komunitas alami yang lain. Pertanian primitip dicirikan dengan keragaman, artinya dalam suatu areal terdapat bermacam-macam spesies dan varietas. Sedangkan pertanian maju dicirikan dengan keseragaman. Namun hal yang paling sering terjadi ialah bahwa keragaman dari berbagai tanaman lokal dan liar terdesak oleh varietas yang telah dikembangkan dari daerah yang pertaniannya sudah maju. Salah satu alasan penting yang mendasari kekhawatiran akan punahnya suatu jenis tanaman ialah kemungkinan manfaat tanaman tersebut di masa mendatang. Suatu sifat yang bermanfaat pada tanaman dapat merupakan sesuatu yang Iain daripada nilai pangan. Pada akhir-akhir ini, telah banyak tanaman yang diseleksi untuk penggunaan bukan pangan, seperti untuk minyak pelumas, bahan bakar, lilin, zat-zat untuk pengobatan, bahan perekat, dan sebagainya. Sumberdaya plasma nutfah tanaman menyediakan berbagai kemungkinan manfaat yang juga harus digali. Walaupun mutasi dapat digunakan untuk menciptakan keragaman genetik, akan tetapi pada umumnya tipe-tipe gen baru tidak dapat diciptakan di laboratorium, sehingga varietas primitip dan keluarga liar tetap sangat penting sebagai sumber bahan genetik dalam pemuliaan tanaman. Keluarga liar dari berbagai spesies budidaya telah memberikan dukungan kepada banyak program pemuliaan tanaman, meliputi sumbangan gen-gen ketahanan terhadap hama dan penyakit, peningkatan adaptasi terhadap berbagai lingkungan, peningkatan kualitas hasil, sterilitas jantan dan sebagainya. Untuk melindungi sumberdaya plasma nutfah yang beranekaragam tersebut diperlukan berbagai sistem konservasi yang efektip. Untuk tujuan ini bank genetika tanaman mempunyai peranan yang sangat penting. Pemikiran tentang mendirikan bank genetika ini sudah lama ada dan pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang diadakan di Stockholm pada tahun 1972 dicetuskan ide tentang sistem internasional bank sumberdaya genetika. Bank genetika terdiri atas dua kelompok, yaitu pusat-pusat konservasi dan koleksi bahan-bahan siap pakai. Pusat-pusat konservasi terutama bertanggung jawab untuk menyimpan dan memelihara benih-benih atau bahan-bahan lainnya dalam waktu yang panjang dan menyediakannya untuk pusat-pusat penelitian yang secara aktip dilaksanakan dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Koleksi bahan-bahan siap pakai dipegang oleh organisasi yang melaksanakan program-program pemuliaan tanaman secara aktip atau yang menyediakan bahan-bahan dasar varietas untuk para pemulia tanaman. Salah satu kegiatan penting dalam konservasi genetika tanaman ialah pengumpulan dan penyimpanan benih dari strain-strain dan rarietas-varietas tanaman. Misalnya, National Seed Storage Laboratory di Fort Collins, Colorado, Amerika Serikat, telah mengumpulkan 78000 macam benih. Ini mencakup varietas-varietas tanaman dari seluruh dunia, seperti jagung, gandum, kapas, kedelai, padi, sorghum, millet, tembakau, bunga matahari, rumput, tanaman hias, sayur-sayuran, dan lain-lain. IRRI di Filipina mempunyai koleksi sejumlah 30000 varietas padi budidaya dan 900 koleksi yang termasuk 38 bentuk keluarga liar dari tanaman padi. Pusat-pusat penyimpanan benih seperti ini juga terdapat di negara-negara lain, seperti di Jepang, Italia, Jerman, Turki, Mexico, dan Uni Soviet. Untuk tanaman-tanaman yang biasa dibiakkan secara vegetatif, bank genetika tanaman biasanya melakukan kegiatan berupa penyimpanan klon-klon dalam bentuk tanaman hidup untuk jenis-jenis tanaman buah-buahan, tanaman hutan, dan lain-lain juga dilakukan di kebun-kebun raya dan di taman-taman nasional. Di samping itu usaha pelestarian plasma nutfah juga dilakukan dengan penyimpanan serbuk sari dan kultur jaringan. Sebagai tambahan bagi bank-bank genetika yang sengaja dibuat oleh manusia, maka pusat-pusat perlindungan dan pengawetan alam memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin agar keragaman alamiah tanaman-tanaman liar maupun keluarga-keluarga liar dari spesies-spesies budidaya beserta perjalanan evolusinya dapat dipertahankan secara wajar. Hanya dengan perlindungan yang bijaksana terhadap sumberdaya plasma nutfah tumbuh-tumbuhan di dunia ini manusia dapat melestarikan lingkup yang sangat luas dari keragaman genetik yang secara potensial mungkin akan sangat berharga, serta menjamin masa depan yang mantap bagi pertanian. Semuanya itu mengandung harapan yang sangat berharga bagi peradaban manusia, walaupun sampai saat ini hanya sedikit saja yang telah kita ketahui. |