Google Webmaster Tools; Agriculture, Biotechnology
Ilmu Pengetahuan dan Wawasan Ilmiah dalam Masyarakat Pertanian
‘Scientia potentia est’ (‘knowledge is power’ atau ‘pengetahuan adalah kekuasaan’). Itu motto yang sudah lama dilontarkan (bukan yang pertama) oleh Francis Bacon (1561-1626), yang menekankan betapa pentingnya peranan ilmu pengetahuan bagi manusia, baik secara individu maupun sebagai masyarakat. Tanpa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi memang sulit bagi manusia moderen untuk bisa hidup makmur dan memiliki kekuasaan atau kekayaaan. Dalam realitas sosial, sebenarnya pernyataannya tidak mesti sevulgar itu, seolah manusia hanya berorientasi kepada kekuasaan dan kekayaan. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan juga sangat diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. Terdapat banyak bukti bahwa ada korelasi positif antara kesejahteraan masyarakat suatu negara dengan rata-rata tingkat pengetahuan dan pendidikan rakyatnya. Negara-negara yang masyarakatnya berwawasan ilmiah umumnya memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. Ini bisa dilihat pada data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), di negara-negara dengan indeks tingkat pendidikan penduduknya yang tinggi juga memiliki nilai indeks harapan hidup, indeks GDP per kapita dan indeks pembangunan manusia yang tinggi pula (UN Data, A World of Information). Oleh sebab itu, meningkatkan tingkat pendidikan, membangun masyarakat berbasis ilmu dan pengetahuan, yang pada gilirannya akan mengembangkan wawasan ilmiah di kalangan masyarakat, merupakan suatu keharusan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat itu.Namun dalam masyarakat kita kenyataannya masih ditemukan pengertian yang berbeda-beda tentang ilmu pengetahuan. Juga masih ada kesenjangan antara pengetahuan tradisional dengan pengetahuan moderen, antara keyakinan keagamaan dengan kemajuan iptek, sehingga seringkali terjadi kebuntuan dialog antara kedua sisi itu dan akibatnya sinergi sangat sulit dihasilkan untuk membangun masyarakat yang sejahjtera. Bagi kebanyakan masyarakat tradisional, termasuk banyak di antara masyarakat pertanian di Maluku, ‘pengetahuan’ sering lebih diartikan sebagai pengetahuan batin daripada pengetahuan ilmiah, baik dalam bidang sosial maupun alamiah. Pada masyarakat yang demikian ‘talenta’ atau bakat alam biasanya lebih dihargai daripada perolehan pengetahuan dari proses belajar dan kerja keras. Pengetahuan yang berupa ‘anugerah’ yang diperoleh dari proses kegiatan spiritual atau keagamaan dianggap lebih ‘berwibawa’ daripada perolehan ijazah dari lembaga pendidikan, bahkan sering lebih diandalkan daripada kompetensi nyata yang merupakan hasil dari proses pendidikan. Misalnya, ‘orang pintar’ atau dukun, ‘tukang berobat’ dan tabib tanpa pendidikan kesehatan lebih dipercaya mampu menyembuhkan daripada dokter; ‘doa-doa’ lebih diandalkan daripada diagnosis dan obat-obat dari dokter dan apotek. Penggunaan pupuk dan pestisida sulit disarankan, dan petani cenderung terus mempraktekkan cara-cara pertanian sederhana yang diwariskan dari leluhur yang sudah biasa diterapkan walaupun produktivitasnya tidak optimal. Terdapat dua kelompok besar ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada pemikiran rasional, yaitu ilmu‑ilmu alam dan ilmu‑ilmu sosial. Kedua bidang pengetahuan tersebut telah mengalami kemajuan besar di dunia Barat atau negara‑negara maju lainnya. Ilmu‑ilmu alam telah terbukti berhasil dalam pengembangan teknologi tinggi dalam berbagai bidang, termasuk nano-teknologi, teknologi komputer, informatika dan komunikasi yang berkembang pesat akhir-akhir ini, serta di bidang pertanian sistem agroindustri dan bioteknologi yang sudah lazim diterapkan pada pertanian di negara-negara maju. Ilmu-ilmu sosial telah melahirkan berbagai paradigma, teori, metode maupun hasil‑hasil penelitian, untuk memahami masyarakat dan mengatasi berbagai persoalan budaya, sosial dan peri kehidupan lainnya; juga telah memungkinkan rekayasa sosial pada masyarakat pertanian sehingga mendorong pertanian yang maju. Kedua bidang ilmu itu selanjutnya telah melahirkan produk-produk peradaban moderen, seperti pesawat terbang, komputer, HP, sampai ke prosedur kedokteran yang canggih, sistem pendidikan, perbankan modern, sistem politik dan ketatanegaraan dan lain-lain. Dalam bidang pertanian, juga telah dihasilkan anekaragam pupuk dan agen kimiawi untuk pertanian, anekaragam varietas unggul, inovasi alat dan mesin pertanian, industri pengolahan hasil pertanian, kelembagaan pendidikan dan transfer teknologi, serta telah tercipta sistem finansial pertanian (seperti credit union), serta perdagangan sarana dan produk pertanian yang canggih. Ini telah tebukti mampu meningkatkan produksi pertanian serta agroindustri yang efisiensi dari hulu ke hilir, baik on-farm maupun off-farm. Akibatnya pertanian di negara-negara dengan pertanian yang maju dan berbasis ilmu, pertanian telah menjadi industri (agroindustri) yang bisa mensejahterakan para pelakunya. Sayangnya, masih banyak diantara masyarakat kita, termasuk masyarakat pertanian tradisional, terbelenggu oleh budaya gaib (mistis) dan bersifat mitos (mitis), yang tidak jelas dasar ilmiahnya. Disana kita kenal istilah-istilah seperti ‘adat’ (dalam pengertian mistis dan mitis), ‘keramat’, ‘paranormal’, ‘dukun’, ‘jimat’, ‘pamali’, ‘mentera’, ‘pekata’, ‘jampi-jampi’, ‘siluman’, ‘ilmu hitam’, ‘santet’, ‘guna-guna’, ‘suanggi’ dan lain-lain. Beberapa saluran TV kita setiap hari menayangkan cerita-cerita yang mengandung unsur-unsur seperti itu. Sebagian hal-hal mistis dan mitis telah diramu oleh ‘para ilmuwan’ menjadi ‘ilmu pengetahuan semu’ atau pseudo-science. Ada pula takhayul yang diselubungi dengan kata-kata untuk memperindah citra menjadi ‘kearifan lokal’ atau local wisdom. Tentu saja diantara tradisi itu banyak yang bersifat positif dan benar-benar dapat digolongkan sebagai ‘kearifan lokal’, misalnya ‘sasi’ di Maluku, yang berguna bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan pertanian dan perikanan. Namun, menjadikan pertanian di Maluku lebih berbasis ilmu dan masyarakatnya berwawasan ilmiah, mesti menjadi visi dan misi pembangunan pertanian yang terus diupayakan untuk diwujudkan. Masyarakat Pertanian dalam Konteks Perkembangan Kebudayaan Untuk memahami bagaimana mengembangkan pertanian yang berbasis ilmu pengetahuan dan masyarakat pertanian yang berwawasan ilmiah, saya hendak mengemukakan dimana posisi masyarakat pertanian kita dalam konteks perkembangan kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sejalan dengan perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Menurut filsuf kebudayaan C.A. van Peursen, sejarah kebudayaan umat manusia ini dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tahap mitis, ontologis, dan fungsional (van Peursen, 1988). Pada tahap mitis sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewi dan roh-roh alam raya, kekuasaan kesuburan, atau kekuatan malapetaka, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi pada bangsa-bangsa purba. Akan tetapi berbagai bentuk mitologi dan mistis inipun dalam dunia moderen masih dapat dilihat. Misalnya seorang pemimpin yang ingin memiliki ‘pengaruh’ atau ‘wibawa’ pergi berziarah atau bersemedi di tempat-tempat keramat, atau berkonsultasi dengan paranormal, ketimbang memperdalam ilmu manajemen dan kepeminpinan. Sebagian masyarakat kita di Maluku maupun Indonesia pada umumnya juga masih berada dalam tahap mitis ini, meskipun mereka sudah hidup dalam dunia moderen. Tahap mitis ini masih menguasai perilaku dan kesadaran masyarakat dengan budaya agraris, marine, bahkan pada masyarakat perkotaan. Pada tahap ontologis manusia tidak lagi merasa hidup dalam kepungan kekuasaan kekuatan gaib dan mitos, melainkan secara bebas meneliti segala hal yang menjadi perhatiannya. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dahulu dirasakan sebagai kepungan atau pengaruh yang tidak bisa dinalar. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (cabang-cabang ilmu). Masyarakat yang demikian mulai memasuki zaman moderen. Pada tahap fungsional manusia berusaha untuk mengkonstruksi kembali hubungannya dengan dunia (realitas) yang sudah dipahaminya, mendekonstruksi lagi segala bentuk landasan kehidupan atau kemapanan, baik yang bersembunyi di balik tradisi, modernitas, pandangan keagamaan, filsafat, dan sebagainya. Manusia berusaha mengupas kembali kemapanannya. Tahap-tahap seperti ini tentu pun berlaku dalam masyarakat pertanian. Banyak masyarakat Indonesia, termasuk di Maluku, masih berada pada tahap mitis, dan ada diantaranya sedang melangkah ke tahap ontologis. Namun kenyataannya kebanyakan masyarakat itu sedang berada di persimpangan jalan antara perkembangan budaya mereka. Dengan tradisinya yang masih kuat dengan berbagai kepercayaan pada kekuatan magis dan mistis, mereka khususnya generasi mudanya, tergiring masuk langsung ke dalam dunia moderen materialistis yang mencoba menariknya untuk berpikir dan berperilaku rasional dan terlibat dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang sesungguhnya juga merupakan produk tahap budaya fungsional. Media komunikasi, seperti TV, HP smartphone dan internet, menarik mereka lebih cepat dan lebih jauh ke dalam pusaran jaman yang sedang terjadi dalam kehidupan. Sering ini mengakibatkan ‘kebingungan budaya’ dalam masyarakat yang bisa berekses negatif. Ketidakpuasan dan kritik terhadap modernitas bisa memunculkan gagasan-gagasan yang mendorong masyarakat kembali ke tahap mitis serta tradisi seperti sebelumnya. Di sisi lain, banyak di antara masyarakat pertanian yang masih berada pada tahap mitis, atau baru beranjak ke ontologis, harus berhadapan dengan budaya moderen dengan produk-produk dari budaya ontologis atau fungsional; sehingga harus terjadi dialog baik dengan tradisi, modernitas maupun pasca-modernitas. Masyarakat pertanian kini harus mampu berdialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dapat belajar dan dididik oleh budaya itu; dengan demikian, kesadaran masyarakat tidak boleh tertinggal atau terjebak pada kondisi yang ada. Percaya pada mimpi dan imaginasi, juga dalam hal alam mitis dan mistis, memang sering berguna untuk menyemangati hidup kita; tetapi ilmu pengetahuan (sains, knowledge) dan tindakan yang sejalan dengan itu (kwoledge-based conduct) mutlak diperlukan untuk merealisasikan impian dan imaginasi kita dan membangun masyarakat yang sejahtera. Petani perlu memahami ilmu pengetahuan dan memanfaatkannya dalam berusahatani, bahkan harus membangun wawasan ilmiah dalam pertanian. Upaya memahami ilmu pengetahuan yang saya maksudkan di sini bukan hanya melalui pendidikan formal di sekolah menengah atas, pendidikan vokasional atau perguruan tinggi, tetapi juga melalui pendidikan non-formal melibatkan penyuluh pertanian, serta pendidikan informal melalui pembelajaran secara turun menurun dari leluhur atau pemangku budaya, sebagaimana dinyatakan oleh Winarno (2013), bahkan belajar dari pengalaman melakukan usaha pertanian serta belajar dari mengenali dan memikirkan alam lingkungan pertanian. Pendeknya, petani harus bersikap sebagai pembelajar seumur hidup. Dengan demikian, praktek-praktek pertanian tradisional yang cenderung bersifat subsisten akan berkembang menjadi usaha pertanian yang berbasis pengetahuan (yakni agribisnis) yang lebih produktif, lebih mampu menyejahterakan para pelaku dan masyarakatnya, serta lebih tanggap terhadap trend ekonomi dan perubahan iklim global. Belajar dari 3 tahap sejarah perkembangan kebudayaan manusia sebagaimana diuraikan sebelumnya, beberapa pemikir menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya perlu dipandang sebagai ‘sekolah umat manusia’. Pendidikan terus-menerus, pendidikan yang tidak ada tamatnya, sepanjang sejarah hubungan manusia dengan berbagai kekuasaan dan kekuatan alam, yang mendorong manusia untuk selalu menemukan strategi baru dalam sejarah hidupnya. Sehingga terjadi proses umpan-balik yang positif dalam setiap langkah perjalanannya dalam proses perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu. Dengan mengadaptasi pola pemikiran Charles Darwin tentang strategi bertahan hidup, dapat dikatakan bahwa budaya dari suatu masyarakat juga merupakan strategi untuk bertahan hidup dan menang. Ini bisa dicapai dengan adanya kemampuan untuk berubah, bervariasi dan beradaptasi, karena seleksi alam selalu terjadi. Dengan demikian, inti dari budaya bukanlah budaya itu sendiri, melainkan strateginya, yaitu suatu strategi untuk bertahan hidup (survival) dan berkembang (van Peursen, 1988). Dan ini tentu berlaku untuk membangun wawasan ilmiah dalam suatu masyarakat. Menerapkan ilmu pengetahuan dalam pertanian di Maluku dan mengembangkan budaya ilmiah dalam masyarakatnya, tidak hanya akan menjamin hidup dan berkembangnya pertanian itu tetapi juga akan membuat pertanian mampu menyejahterakan masyarakatnya, yang selanjutnya akan menopang berkembangnya peradaban dimana masyarakat itu berada. Di samping itu, masyarakat pertanian yang berwawasan ilmiah akan ditunjukkan oleh kemampuannya untuk bertahan, bahkan menang, dalam persaingan dan dalam mengatasi setiap perubahan. Masyarakat pertanian yang berwawasan ilmiah, yang pemikirannya dan tindakannya berbasis ilmu pengetahuan, selalu memiliki siasat dalam menghadapi setiap perubahan di masa depan. Untuk mengembangkan pertanian sebagai bagian dari peradaban, petani mau atau tidak mau harus memahami lalu menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang dapat menunjang pertanian, dan memanfaatkannya. Utamanya, wawasan ilmiah harus tumbuh dan ditumbuhkan pada masyarakat pertanian. Hanya dengan menguasai ilmu pengetahuan, masyarakat pertanian dan kita semua akan dapat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, dan pada saat yang sama berkembang kesadaran untuk melestarikan lingkungan, yang harus tersedia dalam keadaan yang baik bagi generasi yang akan datang. Pada gilirannya kesejahteraan masyarakat (well-being) dan kelestarian (sustainability) akan berumpan-balik kepada berkembangnya budaya dan peradaban dari generasi ke generasi. Membangun Masyarakat Pertanian Menghadapi Era Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Perubahan Iklim Global Menjadikan pertanian berbasis ilmu dan masyarakatnya berwawasan ilmiah sesungguhnya penting untuk mempersiapkan pertanian dan para pelakunya agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan pertanian di abad 21 ini, yang berlangsung sangat cepat. Pertanian di dunia dalam era ekonomi hijau sekarang ini memiliki ciri-ciri: produktivitas yang tinggi; membutuhkan input berupa air dan pupuk yang lebih rendah; tanaman pertaniannya dikembangkan agar mampu mengatasi kondisi agroekologi yang suboptimal, seperti kekeringan, genangan, suhu terlalu tinggi atau rendah, dan cekaman lainnya; dampak negatif kegiatan pertanian, seperti cemaran pupuk, pestisida dan limbah pertanian, harus seminimal mungkin; hasil pertanian harus menunjang kesehatan manusia dalam hal ketersediaan gizi dan vitamin; dan pertanian mampu menunjang penyediaan energi dari biomasa (bioenergy), bahan-bahan industri dan pengobatan/kesehatan (Hamilton et al., 2005). Adanya 3 peristiwa besar terkait pertanian yang sedang terjadi di dunia, yakni pertumbuhan populasi masih cepat, perubahan iklim global dan hampir habisnya persediaan minyak dunia, juga mendorong lahirnya ide-ide penting terkait pertanian dunia, seperti high-output, low-input agriculture (pertanian dengan masukan rendah dan luaran tinggi), pertanian yang menunjang ekonomi berbasis hayati (bio-based economy) dan pertanian yang menunjang produksi energi dari biomasa (getting carbon from the air, not from the ground) (Whitacre et al, 2010). Jadi pertanian harus siap tidak hanya menunjang terpenuhinya kebutuhan pangan dan pakan, tetapi juga kebutuhan industri dan energi, serta mampu menghadapi perubahan iklim global. Petani tradisional yang tidak berwawasan ilmu pengetahuan sulit menyesuaikan diri dengan tuntutan dan trend kemajuan pertanian sebagaimana diuraikan sebelumnya. Jadi, untuk bisa turut berperan dalam perkembangan seperti itu, bagaimanapun masyarakat pertanian kita harus lebih terdidik dan berwawasan ilmiah, dan usaha pertaniannya berbasis ilmu pengetahuan. Dengan demikian, pembangunan pertanian harus dititkberatkan lebih pada penguatan dan pencerdasan sumberdaya manusia (human capital) daripada berorientasi pada ekploitasi dan pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam pembangunan pertanian di Maluku, pemangku kepentingan dan masyarakat pertanian mesti berangkat dari kondisi pertanian, alam lingkungannya serta sosial budaya masyarakatnya. Dengan pertimbangan bahwa Maluku merupakan wilayah kepulauan, maka logikanya pertanian di Maluku perlu dikembangkan sebagai pertanian kepulauan, dengan dominansi pertanian pulau-pulau kecil, bukan pertanian kontinental; walaupun konsep tentang pertanian kepulauan itu sendiri belum terumuskan secara lengkap. Pertanian kepulauan Maluku yang dalam evolusinya berkembang sebagai pertanian campuran (polikultur), khususnya dalam bentuk ‘dusung’ atau sistem agroforestry dan bentuk-bentuk pertanian tradisional lainnya, telah terbukti mampu menunjang pemenuhi kebutuhan pangan, sandang, bangunan dan energi bagi masyarakat tani selama berabad-abad. Telah terbukti dalam sejarah, bahwa ‘dusung’ dan hutan yang ada di Kepulauan Maluku mampu melestarikan lahan darat pulau-pulau yang ada di sana, dan juga turut melestarikan pesisir dan laut, jika ditinjau dari aspek biologi, ekologi, ekonomi dan estetika. Sistem itu juga telah turut mempertahankan kelestarian lahan dan lingkungan sosial budaya masyarakat. Walaupun demikian, pertanian tradisional itu pada umumnya masih bersifat subsisten, sehingga belum mampu secara optimal menyajahterakan para pelakunya, atau berkontribusi besar kepada pendapatan daerah. Pertanian subsisten malah dapat dilihat sebagai salah satu penyebab utama lambannya pembangunan pertanian. Pertanian subsisten memiliki produktivitas rendah, tidak berorientasi pasar, dan sebagian besar output dikonsumsi sendiri oleh keluarga petani (hanya sebagian kecil sisanya yang dijual atau diperdagangkan di pasar-pasar lokal). Ciri lain dari pertanian subsisten adalah tidak tanggap inovasi. Berbeda dengan pertanian subsisten, pertanian yang lebih maju berupa agribisnis berpeluang lebih besar berperanan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat, serta devisa negara. Dengan demikian, pembangunan pertanian menuju agribisnis menjadi prioritas. Ini sesuai dengan visi pembangunan pertanian di Indonesia, yaitu membangun petani melalui bisnis pertanian yang modern, efisien, dan lestari yang terpadu dengan pembangunan wilayah. Pembangunan pertanian menuju agribisnis yang lebih siap menghadapi perkembangan ekonomi dan perubahan iklim global tidak hanya berurusan dengan pembangunan usaha tani (farming), tetapi juga pembangunan petani (dalam pengertian peasants dan farmers), pengusaha pertanian serta pelaku agribisnis lainnya, dalam bentuk pemberdayaan dan peningkatan kompetensi mereka melalui pembangunan sumberdaya manusia. Hal ini karena keberhasilan pembangunan pertanian tidak lepas dari kualitas sumberdaya manusia sebagai pelaksananya. Di sini petani dan keluarganya mempunyai peran ganda dalam pembangunan itu, yaitu selain menjadi obyek, mereka juga merupakan subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, mereka merupakan sasaran pembangunan untuk diberdayakan agar menjadi lebih mampu menyejahterakan keluarga dan masyarakatnya. Sedang sebagai subyek pembangunan, mereka mesti juga berperan sebagai pelaku pembangunan. Pembangunan pertanian merupakan suatu bagian integral pembangunan ekonomi dan masyarakat secara umum. Telah lama dikemukakan bahwa salah satu kunci utama dalam pembangunan pertanian (dinamakan ‘accelerators of agricultural development’) adalah pendidikan petani (Mosher, 1966). Pendidikan petani sebagai upaya untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan diharapkan mampu mendukung pembangunan pertanian. Kedua peran petani dalam pembangunan pertanian itu pada akhirnya mesti menjadikan pertanian berbasis ilmu pengetahuan sehingga lebih mampu menyejahterakan keluarga dan masyarakatnya, serta para pelakunya (para petani) berwawasan ilmiah sehingga lebih tanggap terhadap trend perekembangan pertanian. Para petani itu tidak hanya berpengetahuan dan terampil bekerja dalam bidangnya, tetapi juga menjadi pembelajar yang cerdas sepanjang hayat. Menutup tulisan ini saya mau mengemukakan bahwa pembangunan pertanian tidak hanya mengarahkan kepada peningkatan produktivitas, tetapi juga harus meningkatkan taraf hidup masyarakat pertanian. Untuk itu, petani, pengusaha tani dan masyarakat pertanian di Maluku, dan di Indonesia secara umum, harus lebih cerdas, dalam pengertian berwawasan ilmiah, sehingga lebih mampu menghadapi trend ekonomi, perubahan iklim global, dan bahkan perubahan dalam masyarakat pertanian itu sendiri. Petani, pengusaha pertanian, dan masyarakat pertanian secara umum harus mampu mempraktekkan pertanian yang berkelanjutan. Pada era dimana kita berada pada kondisi sumberdaya yang semakin terbatas dan adanya dampak perubahan iklim global, maka mereka harus mampu mempraktekkan pertanian yang berkelanjutan, dengan berbudaya tanaman menggunakan lahan, air, pupuk dan input pertanian lainnya yang lebih sedikit, serta melestarikan sumberdaya alam untuk generasi yang akan datang. Pertanian masa depan tidak hanya berfungsi yang berkaitan dengan produksi pangan, sandang, bahan bangunan, bahan industri, obat-obatan dan energi, tetapi menyangkut aspek yang lebih luas lagi, seperti produksi udara bersih dan oksigen, serapan CO2 (perdagangan karbon), estetika lansekap, air bersih dan agrowisata. Petani dan pengusaha tani harus lebih jeli melihat kesempatan-kesempatan yang ada untuk memproduksi barang dan jasa. Mereka harus mampu melihat pertaniannya sebagai sesuatu yang multi-fungsi. Dalam pertanian harus berkembang pengetahuan baru yang akan memampukan pelakunya menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi dan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Ini jelas menuntut pertanian dikembangkan agar berbasis ilmu dan para pelakunya berwawasan ilmiah. Daftar Pustaka Hamilton, R., R.B. Flavell and Robert B. Goldberg. 2005. Plant biotechnology: Advances in food, energy, and health. Economic Perspective, p17-20. Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving: Essentials for Development and Modernization . Agricultural Development Council, Frederick A. Praegar Publ. 191 p. UN Data, A World of Information. http://data.un.org/DocumentData.aspx?q=human+ development+index&id=377, diakses 5 Mei 2017. van Peursen, C.A., 1988. Strategi Kebudayaan (terj. D. Hartoko dari Cultuur In Stroomversnelling & Strategie Van De Cultuur). Kanusius. 238 p. Whitacre, P.T., A.P. Fagen, J.L. Husbands, and F.E. Sharples. 2010. Planning Implementing the New Biology: Decadal Challenges Linking Food, Energy, and the Environment: Summary of a Workshop, June 3-4, 2010, The National Academies Press, Washington. 52p. Wikipedia, Scientia_potentia_est. https://en.wikipedia.org/wiki/Scientia_potentia_est, diakses 5 Mei 2017. Winarno, Y.T. 2013 ‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’?. Antropologi Indonesia, Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology 34(1):75-90.
0 Comments
Leave a Reply. |